Mohon tunggu...
Citra Mustikawati
Citra Mustikawati Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Bekas penyiar radio berita yang sedang mencoba jadi penulis cerita anak.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kekuatan Agenda Setting dalam Membentuk Opini Publik

3 Februari 2010   12:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:06 26274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pertengahan bulan April tahun 2009 nama Manohara Odelia Pinot begitu ramai di media massa. Namanya menucat sejak kasus dugaan kekerasan rumah tangga (KDRT) yang dilakukan suaminya, Pangeran Kelantan Malaysia, Tengku Muhammad Fakhry. Meskipun gadis kebangsaan Amerika Serikat dan Bugis ini sudah terjun di dunia model sejak tahun 2006 namun namanya hampir tak terdengar. Pada awalnya kasus ini biasa-biasa saja namun menjadi sangat besar saat ibu Manohara, Daisy Fajrina, melakukan jumpa pers di kantor Komnas HAM tanggal 23 April. Daisy menceritakan kisah “penculikan” dan penganiayaan yang dialami putrinya itu.

Keperkasaan Media Massa

Siapa yang tak kenal Manohara? Model yang terpilih dalam 100 Pesona Indonesia menurut Majalah Harper’s ini menjadi topik hangat sampai hari ini. Mulai dari ibu rumah tangga, karyawan, sampai kanak-kanak pun familiar dengan wajah cantik dan kisahnya yang mengharu-biru. Media massa menjadikannya lalu-lalang ramaikan layar kaca kita. Tak tanggung-tanggung, semua stasiun televisi memiliki jadwal wawancara langsung dengannya. Semua aspek kehidupannya dikupas tuntas untuk dipaparkan kepada pemirsa. Kekuatan media memang tidak diragukan lagi dalam memengaruhi massa. Respon dari masyarakat begitu mendalam. Ketika sebuah televisi berinovasi dengan Twitter dan Facebook agar pemirsa bisa menanyakan langsung hal-hal kecil tentang Manohara, muncul pertanyaan “Is that Christian Louboutin?” dan “Berapa buah koleksi Tas Hermes milik Mano?”. Benar-benar luar biasa. Pengaruh media terhadap khalayak sampai sebegitu jauhnya sehingga mereka jeli dan sangat sadar merk.

Para ilmuwan komunikasi dari dulu sampai sekarang berbeda pendapat mengenai kekuatan media massa memengaruhi pendapat dan sepak terjang khalayak. Sebagian mengatakan sesungguhnya media itu sangat  powerfull. Media tidak hanya sanggup memengaruhi opini publik, tapi juga tindakan publik. Di sisi lain, pengaruh media dikatakan terbatas, tergantung pada konteks ruang dan waktu, dan di mana media itu bekerja. Bagi mereka yang menganggap the media is powerfull, kemudian melahirkan beberapa teori komunikasi massa yang memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat dan budaya, yakni teori Agenda Setting, teori Dependensi, Spiral of Silence, dan Information Gaps.

Agenda Setting

Masyarakat Indonesia yang plural dalam ragam budaya dan strata ekonomi berhasil digiring televisi pada satu titik sikap, simpati bagi Manohara. Inilah kekuatan media massa, mampu memengaruhi perubahan kognitif pemirsa. Dari teori komunikasi massa yang ada, agenda setting menjadi teori paling menarik bagi saya. Karena itulah teori agenda setting akan menjadi pembahasan utama pada tulisan ini. Dasar pemikiran teori ini adalah di antara berbagai topik yang dimuat media massa, topik yang mendapat lebih banyak perhatian dari media akan menjadi lebih akrab bagi pembacanya dan akan dianggap penting dalam suatu periode tertentu. Akan terjadi sebaliknya bagi topik yang kurang mendapat perhatian media.

Teori agenda setting pertama kali dikemukakan oleh Walter Lippman (1965) pada konsep “The World Outside and The Picture in Our Head” yang sebelumnya telah menjadi bahan pertimbangan oleh Bernard Cohen (1963) dalam konsep “The mass media may not be successful in telling us what to think, but they are stunningly successful in telling us what to think about". Penelitian empiris ini dilakukan Maxwell E. McCombs dan Donald L. Shaw ketika mereka meneliti pemilihan presiden tahun 1972. Mereka mengatakan, walaupun para ilmuwan yang meneliti perilaku manusia belum menemukan kekuatan media seperti yang disinyalir oleh pandangan masyarakat yang konvensional, belakangan ini mereka menemukan cukup bukti bahwa para penyunting dan penyiar memainkan peranan yang penting dalam membentuk realitas sosial kita. Itu terjadi ketika mereka melaksanakan tugas keseharian mereka dalam menonjolkan berita. Khalayak bukan saja belajar tentang isu-isu masyarakat dan hal-hal lain melalui media, mereka juga belajar sejauh mana pentingnya suatu isu atau topik dari penegasan yang diberikan oleh media massa.

Contoh kasus lain yang menjadi pilihan media adalah Prita Mulyasari. Ibu muda yang dipenjara karena mengeluhkan pelayanan sebuah institusi melalui email di sebuah mailist. Media massa mengeksposnya. Tak ayal, dukungan dan simpati mengalir deras bagi pembebasannya. Sampai-sampai diadakannya aksi solidaritas Koin Peduli Prita dalam rangka membantu Prita dalam memperoleh uang untuk bayar denda kepada Rumah Sakit Omni Internasional sebesar Rp204.000.000,-. Alhasil sumbangan seluruh masyarakat dari seluruh Indonesia sebesar Rp825.728.550,-. Jumlah ini empat kali lipat melebihi denda yang harus dibayarkan Prita kepada Rumah Sakit Omni Internasional.

Framing yang dilakukan media membuat suatu berita terus menerus ditayangkan di media sehingga muncul agenda publik. Seperti yang dikatakan Robert N. Ertman, framing adalah proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan aspek lain. Masyarakat akan menjadikan topik utama yang diangkat oleh media sebagai bahan perbincangan sehari-hari. Pengaruh dari teori agenda setting terhadap masyarakat dan budaya sangat besar. Dunia fashion mengambil kesempatan ini untuk menarik style untuk kemudian menjadikannya trendsetter. Bahkan hingga menyentuh lapisan masyarakat menengah ke bawah. Banyak dijual kaos bergambar wajah Manohara di pasaran. Popularitas Manohara di tanah air langsung melesat bak meteor. Begitu juga yang terjadi pada kasus Prita. Dampak dari media massa yang terus mem-blow up kasusnya terbentuklah opini publik yang cenderung untuk memberinya dukungan.

Agenda setting sendiri baru menunjukan keampuhannya jika agenda media menjadi agenda publik. Lebih hebatnya lagi jika agenda publik menjadi agenda kebijakan. Bernard C. Cohen (1963) mengatakan bahwa pers mungkin tidak berhasil banyak pada saat menceritakan orang-orang yang berpikir, tetapi berhasil mengalihkan para pemirsa dalam berpikir tentang apa. Kita bisa memakai media apa saja untuk membangun opini, tapi jika tidak sejalan dengan selera publik, maka isu yang dibangun dengan instensitas sekuat apa pun belum tentu efektif. Akibat dari opini yang dibangun publik mengenai dua kasus di atas, pemerintah turun tangan dalam memberikan kebijakan terhadap kasus-kasus ini.

Kelemahan Teori Agenda Setting

Coba kita lihat skandal Century yang semakin memanas hingga hari ini. Beritanya tidak menjadi topik utama di semua media massa. Hanya beberapa media saja yang menjadikannya headline. Itu terjadi karena tidak sesuai dengan selera publik. Di sinilah kelemahan dari teori agenda setting. Ketika mulai masuk ke selera publik maka teori yang lebih relevan untuk melihatnya adalah Uses dan Gratification. Teori ini mempertimbangkan apa yang dilakukan orang pada media, yaitu menggunakan media untuk pemuas kebutuhannya.

Dalam memenuhi kebutuhan secara psikologis dan sosial, audiens menjadi tergantung pada media massa. Audiens memperlakukan media sebagai sumber informasi bagi pengetahuan mengenai perkembangan kasus Century. Karena itu, media pun bersedia menayangkan Sidang Pansus Century secara live. Media mencoba memberikan apa yang dibutuhkan oleh audiens sehingga memberikan efek dalam ranah afektif audiens. Salah satunya adalah meningkat dan menurunnya dukungan moral terhadap skandal Century yang sedang dalam penyelesaian.

Bernard C. Cohen (1963) mengatakan bahwa pers mungkin tidak berhasil banyak pada saat menceritakan orang-orang yang berpikir, tetapi berhasil mengalihkan para pemirsa dalam berpikir tentang apa. Ini termasuk dalam kelebihan dari teori agenda setting sementara yang lainnya adalah memiliki asumsi bahwa suatu berita mudah dipahami dan mudah untuk diuji. Dari kelemahan dan kelebihan yang dimiliki teori agenda setting tentu ada saja dampak negatif dan positifnya.

Media Literacy

Teori yang disebut Cultural Norms, beranggapan bahwa media tidak hanya memiliki efek langsung terhadap individu, tetapi juga memengaruhi kultur, pengetahuan kolektif, dan norma serat nilai-nilai dari suatu masyarakat. Media massa telah menghadirkan seperangkat citra, gagasan, dan evaluasi dari mana audiens dapat memilih dan menjadikan acuan bagi perilakunya. Sangat penting bagi pemirsa untuk menyikapi dengan benar masalah negatif yang timbul dari teori agenda setting.

Dalam teori agenda setting, audiens bersifat pasif sehingga tidak bisa mengontrol efek yang menimpanya. Agar tidak terjadi kesalahan dalam perolehan informasi maka perlu untuk melek media atau Literacy Media. James Potter dalam bukunya yang berjudul “Media Literacy” (Potter, 2001) mengatakan bahwa media Literacy adalah sebuah perspekif yang digunakan secara aktif ketika individu mengakses media dengan tujuan untuk memaknai pesan yang disampaikan oleh media.

Potter (Baran and Davis, 2003) memberikan pendekatan berbeda dalam menjelaskan ide-ide mendasar dari media literacy, yaitu:

  1. Sebuah rangkaian kesatuan, yang bukan merupakan kondisi kategorikal
  2. Media literacy perlu dikembangkan dengan melihat tingkat kedewasaan seseorang
  3. Media literacy bersifat multidimensi, yaitu domain kognitif yang mengacu pada proses mental dan proses berpikir, domain emosi yaitu dimensi perasaan, domain estetis yang mengacu pada kemampuan untuk menikmati, memahami dan mengapresiasi isi media dari sudut pandang artistik, dan domain moral yang mengacu pada kemampuan untuk menangkap nilai-nilai yang mendasari sebuah pesan
  4. Tujuan dari media literacy adalah untuk memberi kita kontrol yang lebih untuk menginterpretasi pesan.

Berita bukanrefleksi dari realitas melainkan kosntruksi dari realitas. Sebagai masyarakat modern, masyarakat yang selalu membutuhkan informasi atau bisa dikatakan Information BasedSociety, kita harus melek media. Hal ini bertujuan agar kita tidak salah dalam menerima berita. Kita jadi selektif dalam menanggapi media massa. Karena menjadi audiens yang pasif tidaklah menyenangkan. Akankah selamanya kehidupan kita diatur berdasarkan agenda setting dari media?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun