Mohon tunggu...
Siti Maesaroh
Siti Maesaroh Mohon Tunggu... Karyawati -

Hello! I like to challenge myself with different things and often wondering how some things work :D

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Nasionalisasi Perusahaan Migas Asing, Apa Bisa Jadi Solusi?

1 Januari 2016   00:22 Diperbarui: 1 Januari 2016   00:22 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Selama menjadi mahasiswa, saya cukup sering diajak dan menyaksikan teman-teman saya yang menyuarakan aspirasi masyarakat dan mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggap kurang pro rakyat: berdemonstasi. Meski tindakan yang (katanya) menyambung lidah masyarakat ini terkadang justru mendapat makian dari masyarakat sendiri, karena membuat macet jalan dan kadang berlangsung ricuh. Namun saya rasa kehadiran para mahasiswa sebagai demonstran benar-benar dengan tujuan mengingatkan para pejabat di atas sana, bahwa kebijakan yang mereka ambil haruslah bersifat membangun peradaban dan kemajuan bangsa yang adil dan merata demi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

Meski sering diajak, sebenarnya saya belum pernah ikut demonstrasi. Alasan saya karena pihak yang memberi bantuan beasiswa untuk saya berkuliah melarang saya mengikuti segala bentuk protes di jalanan. Selain itu saya pikir saya juga bisa ikut serta menyuarakan aspirasi rakyat melalui media lain selain turun ke jalan. Saya hanya senang ikut menyaksikan orasi mahasiswa di kampus sebelum demo dilaksanakan, saya juga senang menerima selebaran-selebaran yang mereka bagikan.

Setiap diajak turun ke jalan, setiap dari kami (umumnya para mahasiswa baru dan aktivis mahasiswa) diberikan ‘dogma’ oleh mahasiswa senior yang menjadi pemimpin demo. Ada juga mahasiswa lainnya yang membagi-bagikan kertas berisi ulasan fakta tentang masalah yang akan disuarakan agar masing-masing dari kami memiliki satu pemikiran dan satu tujuan saat demonstansi berlangsung nanti.

Salah satu yang cukup sering ‘didemokan’ adalah masalah energi seperti kenaikan harga BBM dan keberadaan perusahaan migas asing yang merajai energi nasional negara kita. Miris memang bahwa negeri yang oleh Koes Plus dikatakan ‘tanah surga’ ini namun masih banyak rakyat miskin yang kelaparan dan pengangguran. Apa sih sebenarnya yang salah?

Oleh rekan-rekan sesama mahasiswa dan orang yang ‘berjiwa muda’ saya sering mendengar bahwa harusnya pemerintah mengakuisisi atau menasionalisasi perusahaan-perusahaan migas asing yang ada di Indonesia. Mereka menyatakan bahwa pemerintah Venezuela saja berani untuk mengambil alih perusahaan asing di negaranya. Mengapa kita tidak? Apa yang membuat kita tidak mampu untuk mengelolanya? Apakah kita harus membuat perusahaan BUMN baru untuk membantu PT Pertamina? Sehingga PT Pertamina khusus mengurusi industri hulu, sementara perusahaan BUMN baru lainnya mengurusi industri hilir migas, misalnya berupa pengolahan dan pemasaran.

Wacana nasionalisasi perusahaan migas asing di Indonesia bukan hal baru, malah menjadi satu hal klasik yang sudah amat banyak terindeks di Google. Namun sayangnya gagasan yang amat berani tersebut hingga kini belum pernah terealisasi.

Hal yang kontradiktif sering saya dengar dari dosen-dosen dan ‘orang-orang tua’, bahwa ‘penyerahan’ satu daerah untuk dieksplorasi oleh perusahaan asing bukanlah tanpa sebab. Sebabnya adalah karena negara kita belum mampu untuk mengelolanya. Diperlukan modal yang tidak sedikit dan bukan hanya modal duit. Mereka yakin bahwa kesepakatan pengelolaan itu tentu telah dipertimbangkan dengan matang agar negara kita juga tetap dapat mendapat manfaat atas kegiatan usaha perusahaan asing tersebut.

Salah satu penulis di salah satu artikel di internet menyatakan bahwa nasionalisasi perusahaan migas asing di Indonesia bukanlah sesuatu yang dengan mudah dilakukan. Selalu terdapat kesepakatan-kesepakatan yang saling memberikan keuntungan antara Indonesia dan negara asal perusahaan migas tersebut, misalnya izin ekspor-impor. Katakanlah kita ingin menasionalisasi perusahaan X yang berasal dari negara Y, yang merupakan salah satu negara adi daya di dunia. Maka bukan hal yang tidak mungkin kita akan dimusuhi dan diembargo dari hubungan dengan negara lain secara internasional bukan hanya oleh negara Y tapi juga negara-negara yang menjadi ‘rekan’ dari negara itu.

Selain ‘dimusuhi’, bisa jadi akibat nasionalisasi ini kepala negara, orang-orang berpengaruh dan bahkan bangsa kita terancam kehidupannya seperti yang terjadi di Iran. Negara kita yang dikenal penuh kasih dan cinta damai ini bisa jadi akan berkobar lautan api kembali jika nasionalisasi perusahaan migas asing direalisasi. Nasionalisasi perusahaan migas asing menjadi penuh risiko namun bukankah dahulu para pejuang kita bersemboyan “Merdeka atau Mati”. Lebih baik mati dalam perjuangan meraih kemerdekaan daripada hidup dalam penjajahan.

Eh, apakah kita kini (masih) dijajah?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun