Saya senang Kementerian Agama bersama Kompasiana mengadakan lomba menulis dengan tema kerukunan beragama ini. Jujur saya tipikal orang yang lebih suka menulis keseharian saya (seperti diari) daripada pemikiran saya apabila tidak diminta. Dengan tulisan ini saya akan coba menulis gagasan sederhana saya.
Saat ini sepertinya kehidupan kita tidak bisa terlepas dari internet, baik secara langsung maupun tidak langsung. Internet begitu memudahkan kita untuk mendapatkan dan membagikan informasi apa pun dengan mudah dan cepat dengan siapa saja di seluruh dunia. Salah satu situs internet yang paling banyak digunakan saat ini adalah jejaring sosial atau social media (socsmed).
Berbagai sosmed pun bermunculan dengan fitur-fitur yang dimilikinya. Dengan adanya sosmed, saya pribadi merasa senang bisa bertanya dan belajar kepada profesor yang ahli di bidang yang saya tekuni dari universitas lain tanpa harus mengunjunginya secara langsung, yang tentu menyita waktu lebih banyak dan ongkos perjalanan yang cukup mahal. Sosmed membuat eksistensi diri kita dapat dikenal secara lebih luas dan lebih lama karena katanya, people may forget, but internet (google) not.
Tapi kelebihan sosmed ini ibarat mata pisau. Ia akan berguna jika dipakai untuk tujuan yang benar. Sebaliknya, ia justru akan mencelakai jika digunakan dengan tujuan yang salah.
Saya sering merasa sedih dan agak kesal ketika membaca postingan di sosial media dari orang-orang luar yang mendiskreditkan Islam sebagai sebuah agama yang berbahaya. Apalagi di bulan September ini, hampir selalu ada saja pihak yang seolah menilai bahwa Muslim sama dengan teroris. Padahal kita yang tinggal di Indonesia tentu meyakini bahwa itu salah. Islam tidak membenarkan terorisme. Terorisme adalah kejahatan yang tidak diajarkan di agama mana pun. Terorisme yang biasa diberitakan hanya menggunakan nama Islam sebagai tamengnya padahal para teroris itu jelas tidak menerapkan hal-hal yang sesungguhnya diperintahkan dan dilarang dalam Islam di kehidupan mereka.
Tapi saya juga kurang suka dengan postingan beberapa pihak dari dalam negeri kita sendiri, yang kadang merasa paling benar dan tidak menghormati kebenaran yang diyakini orang lain. Saya cukup sering menemukan postingan tentang berbagai gagasan keagamaan yang tampaknya ‘benar’ namun terasa mencederai nilai toleransi dan/atau sistem kenegaraan bangsa kita. Kadang hal-hal seperti itu agak membuat saya bingung. Saya pikir apa itu sunguh-sungguh ‘benar’? Apakah mungkin iman saya kurang sehingga ‘kebenaran’ itu saya ragukan?
Namun di satu sisi saya rasa keadaan bangsa kita sekarang cukup aman, artinya tanpa pengaplikasian ‘kebenaran’ itu pun kita bisa cukup hidup rukun dan damai di negeri ini. Dan bukankah esensi dari nilai ‘kebenaran’, yang katanya cinta kasih kepada Tuhan dan sesama itu berarti secara tidak langsung telah diterapkan di negara ini? Jadi untuk apa lagi?
Saya jadi ingat sejarah lahirnya Pancasila. Kita tahu bahwa rumusan Sila Pertama Pancasila yang ada di Piagam Jakarta pada mulanya bukanlah Sila yang ada di Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 yang berlaku saat ini yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, melainkan “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Ubahan Sila yang diusulkan oleh A.A. Maramis tersebut dengan jelas merefleksikan agama dan kepercayaan bangsa kita yang sangat beragam, bukan hanya mengakui satu agama saja.
Kita adalah bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam, juga memiliki candi Buddha terbesar di dunia tapi kita bukanlah sebuah negara yang berdasar satu agama, melainkan nilai-nilai luhur dari semua agama kita terapkan di bangsa ini. Kitalah negara yang menjadikan setiap hari raya dari agama yang kita akui dijadikan hari libur nasional. Kita menghargai perbedaan. Bangsa kita adalah bangsa yang berprinsip keberagaman dan bukan keseragaman.
Lantas bagaimana dengan berbagai postingan negatif di sosmed itu? Saya pribadi, ketika membaca dan merasa agak terpengaruh dengan hal itu, saya selalu berusaha mengingat, membaca kembali literatur sejarah bangsa kita. Dulu, lebih dari 70 tahun lalu, para pahlawan kita yang merumuskan Pancasila (yang mayoritas Muslim) saja mau menghormati perbedaan yang kita miliki demi bisa bersatunya bangsa kita, dari ujung barat ke ujung timur. Masak kita yang hidup di era modern ini tidak bisa? Toh nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila tidak bertentangan dengan pandangan hidup (way of life) dalam agama kita.
Selain itu, cara lainnya yang saya lakukan adalah dengan membaca berbagai literatur/artikel atau menonton video tentang keanekaragaman bangsa kita. Saya selalu merasa bangga atas perbedaan yang kita miliki dan bisa kita jaga hingga saat ini. Berbagai perbedaan ras, suku, agama, adat, budaya, dll dalam bangsa kita adalah suatu aset bangsa yang harus kita jaga dan hormati bersama. Konten-konten di internet seperti dalam blog dan sosial media yang membahas mengenai hal ini bagi saya cukup ampuh dalam 'melawan' postingan negatif yang memicu perpecahan. Kita harus sebarkan rasa bangga atas perbedaan yang kita miliki. Bangsa kita adalah negara yang berdiri di atas perbedaan yang kita semua banggakan.