Pendar biru mengoyak sunyi; masih saja bukan tentangmu
Diri tak kuasa pungkiri akan harap secuil kabar dari sang pengelana
Denting demi denting pesan maya berdentang dalam gendang
Tetap sama tanpa sekutip kabar dari si pengembara
Oh, Tuan, sungguh bedebah dirimu mengasingkan jantung yang diucap serupa dengan detak di dadamu
Tiadakah kau rasa degupnya melemah di remahan gelisah?
Sedang waktu dengan lincah memindai pergantian jeda
Dari detik ke menit lalu menuju jam dan akhirnya bermuara di hari-hari sunyi
Seniscaya itu kau harap diri setia?
Tidak, Tuan! Pondasi hatiku tak sekuat yang kau kira-- yang kau pinta
Palungku sekarat digerogoti keyakinan penuh karat
Seumpama kau berubah jadi pejantan yang kudamba; aku niscaya bersorak!
Tanggalkan keraguanmu, Tuan! Sapa rindumu seperti yang terasa oleh rasaku
Pancangkan kaki; berhenti mencari cinta hakiki
Sedang telah kau abaikan satu hati yang tulus memberi
Hingga langit membelah lalu hujani bumi dengan kasih sayang-- baru kau sadari akan adaku
Meski hati kita berdebu oleh rindu; berseru seru saling memanggil; kau tetap membeku
Membiarkan selembar harap rapuh-- jatuh meluruh lalu melepuh
Dan diri kembali terpaku pandangi pendar pendar maya-- mengharap selarik sapa dari si pencuri harapan
Bandung, 081218
Hai, sahabat! Aku lagi belajar bikin balada nih....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H