Mohon tunggu...
Cita Puspita
Cita Puspita Mohon Tunggu... -

saya mendedikasikan sisa usia saya sebagai seorang abdi negara di bidang statistik dengan terus memupuk kecintaan yang luar biasa terhadap bidang jurnalistik

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ikhlas: Pembelajaran Seumur Hidup

8 Desember 2014   14:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:48 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14179994641483002660

Masih ingat film “kiamat sudah dekat” yang pemainnya Dedi Mizwar dan Andre Taulani?

Tiba-tiba pagi ini saya teringat film tersebut. Bukan tentang isi cerita cinta-cintaannya, tetapi tentang aktornya yang mencari arti kata “ikhlas”. Rasanya mudah untuk mengucapkan enam huruf tersebut dengan begitu lancar. Namun, apa kita benar-benar paham arti di dalamnya?

Ketika halal bihalal keluarga besar beberapa bulan lalu, Pakde saya kembali mengangkat tema ikhlas di ceramahnya. Yang tersangkut di benak saya saat itu adalah pernyataan beliau yag bilang ikhlas itu susah dijelaskan, apalagi dilakukan. Ketika kita bilang orang lain yang membagikan zakat dengan mengundang orang-orang miskin datang untuk antri di depan rumahnya dan disorot kamera itu berarti tidak ikhlas karena mengandung riya’. Lantas apakah orang yang bersedekah diam-diamn karena tidak mau diketahui orang sudah bisa dibilang ikhlas? Belum tentu katanya. Tidak ada yang tau niat di dalam hati seseorang. Abstrak.

Di majelis taklim yang saya ikuti, tema ikhlas kembali dilontarkan dalam forum. Ketika itu semua mata mengarah pada salah satu ibu yang ternyata harus berbagi rumah dengan istri baru suaminya. Mereka tinggal di dua kamar berdampingan dalam satu atap. Berbagi hidup dalam satu periuk. Tidak bisa terbayangkan bagaimana perasaan ibu itu. Tidak ada yang tau apakah dia benar-benar ikhlas menjalani hidup seperti itu. Hanya dia dan Allah yang mengetahui apapun yang dipikirkan hamba-Nya.

Mungkin bagi saya, ikhlas itu berarti menerima semua hal telah saya miliki ataupun belum. Menerima bahwa apa yang menurut saya baik, belum tentu baik menurut Allah, begitupun sebaliknya. Ikhlas untuk menerima bahwa jalan hidup menggariskan saya untuk tinggal di sini. Jika “sementara” itu berbatas waktu, saya ingin segera dimutasi ke tempat lebih baik. Setidaknya yang memberikan fasilitas pendidikan lebih baik untuk anak saya. Namun jika kenyataannya tidak bisa lebih cepat dari harapan, saya harus belajar ikhlas menerima bahwa orang lain bisa lebih cepat pindah daripada kami.

Saya percaya rejeki dari Allah tidak pernah salah alamat. Adakalanya saya mempertanyakan doa-doa yang belum juga terkabul. Hingga kemarin ustadzah saya bilang Nabi Ibrahim saja berdoa kepada Allah dan baru dikabulkan 4000 tahun kemudian. Padahal beliau seorang Nabi, lantas bagaimana dengan kita yang bukan siapa-siapa?

Entahlah mungkin dengan membaca tulisan-tulisan saya, sebagian orang mencaci dengan bilang tidak bersyukur atau apalah. Saya menerima komentar apapun dengan lapang dada. Mohon maaf jika banyak yang tidak berkenan. Semoga kita semua diberkahi umur panjang untuk dapat belajar ilmu ikhlas dengan cara masing-masing.

Melalui tulisan ini dan berikutnya, salam hangat saya dari Kolaka UtaraJ

#citapuspitasari_8Desember2014#

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun