Legitimasi PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) yang dicanangkan pada 1969 menimbulkan pertanyaan di kalangan generasi muda masyarakat Papua. Apakah proses penentuan pendapat rakyat tersebut murni tanpa adanya intimidasi dari pemerintah Indonesia. Padahal referendum itu telah ditetapkan dalam Perjanjian New York Pasal 17 – 18 dan pelaksanaannya pun melibatkan utusan PBB, Australia dan Belanda. Hasil PEPERA kemudian dibawa ke siding PBB dan pada 19 November 1969, Sidang Umum PBB menerima dan menyetujui hasil PEPERA dimana masyarakat Papua menghendaki bergabung dengan NKRI.
Hasil keputusan tersebut disambut positif oleh pemerintah Indonesia dengan menerapkan beberapa program pembangunan bagi masyarakat Papua. Bahkan status otonomi khusus pun diberikan kepada masyarakat Papua melalui Undang Undang No. 21 Tahun 2011. Dengan implemetasi kebijakan tersebut, pemerintah memberi peluang bagi Provinsi Papuan untuk mengurus dirinya sendiri tetapi tetap dalam kerangkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dana otonomi khusus untuk pembangunan Papua diberikan dengan alokasi anggaran cukup besar dibandingkan daerah lain di Indonesia.
Namun, ironisnta sejak 2002 dana otsus digelontorkan, kesejahteraan masyarakat Papua masih menjadi perbincangan hangat bagi beberapa media dan kelompok kepentingan yang kecewa atas hasil Pepera. Berdasarkan sensu yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik tahun 2010 Propinsi Papua Barat dan Papua menempati urutan pertama dan kedua sebagai propinsi termiskin. Hal ini berbanding terbalik dengan begitu gemah ripahnya tanah Papua. Kondisi ini tentu menimbulkan pertanyaan besar, apa yang menjadi penyebab program pembangunan Papua mengalami kebuntuan?
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Cendrawasih-Papua Dr. Mesak Ick, SE, M.Si mengatakan pertumbuhan ekonomi di Papua terlalu menekankan pada strategi tradisonal yang mengutamakan pada eksploitasi sumber daya alam yang kemudian terakumulasi menjadi capital fisik dan kapiral manusia dengan mengabaikan keterkaitannya dengan capital lain seperti capital sosial. Alhasil pertumbuhan ekonomi menjadi tidak seimbang (unbalance growths) dan mengakibatkan konflik yang berimplikasi semakin terhambatnya pembangunan.
Dari segi pemerintahan daerah, arah kebijakan pembangunan yang dilakukan antar Gubernur senantiasa menimbulkan ketimpangan hasil pembangunan. Sebagai cotoh penekanan pada factor keamanan berakibat pada semakin banyaknya tentara yang dikirim ke Papua untuk menjaga asset pelaku ekonomi, Sehingga sering kali tercipta benturan antara aparat dan masyarakat karena perbedaan kultur dan budaya.
Daya saing penduduk lokal dengan para pendatang semakin memperlebar jurang pemisah yang mengakibatkan masyarakat asli Papua dimanfaatkan para pendatang. Tingkat pendidikan yang belum mampu menjangkau kalangan di daerah pesisir dan perbukitan Papua turut mengakibatkan kue pembangunan tidak merata. Penduduk asli Papua termarjinalkan karena luput dari keberpihakan pemerintah untuk menumbuh kembangkan jiwa entrepeneruship di kalangan penduduk aslinya. Perdagangan yang dilakukan masih bersifat tradisonal, sehingga program inisiasi ekonomi tidak berdampak positif pada peningkatan daya beli masyarakat.
Banyak bantuan pendanaan yang diberikan kepada masyarakat Papua, tetapi penyaluran di daerah hanya ditujukan kepada kepentingan pribadi dan para pendatang. Alhasil masyarakat asli Papua tidak mengalami pertumbuhan ekonomi signifikan. Pembinaan bidang perdagangan yang dilakukan di daerah juga tidak tepat sasaran karena materi yang disampaikan berupa peningkatan produksi tanpa menyentuh teknik pemasarannya. Hal ini mengakibatkan Kakao yang merupakan produk unggulan terpaksa membusuk di pohonnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H