Israel dan Iran. Walaupun situasi kedua negara tersebut baru mendapat perhatian di mata masyarakat global lagi selama beberapa waktu ini, tetapi ketegangan hubungan Israel dan Iran telah berlangsung sejak lama dan memiliki sejarah tersendiri.
Di era globalisasi ini, negara-negara di dunia hidup berdampingan dan berinteraksi kepada satu sama lain. Hal ini dilakukan dengan maksud untuk memenuhi kepentingan nasionalnya masing-masing dan menjaga kedaulatan negaranya. Namun, tidak selalu interaksi antar negara yang terjadi berbuah kepada hubungan kerja sama. Beberapa negara-negara di dunia justru mengalami ketegangan hubungan yang memicu konflik, entah dalam wujud persaingan dagang atau bahkan dalam wujud konflik militer atau perang. Salah satu relasi konflik yang terjadi baru-baru ini adalah perang militer yang berlangsung antaraBermula dari berdirinya Israel pada tahun 1948 atas dasar kebijakan Inggris sebagai pemegang kekuasaan di daerah Timur Tengah, yang mana kebijakan tersebut bermaksud untuk membagi wilayah di Palestina menjadi tiga bagian, yang salah satunya diberikan kepada Israel. Meskipun Iran menjadi salah satu negara yang menolak kebijakan tersebut, namun Iran juga menjadi negara kedua yang mengakui Israel sebagai negara yang berdaulat. Kedamaian memang berlangsung untuk beberapa saat, sampai akhirnya pada masa Revolusi Ruhollah Khomeini tahun 1979, titik dimana Iran mengubah kepemimpinan negaranya dari yang semula oleh Shah, menjadi kepresidenan, yang kemudian mendirikan Republik Islam Iran. Salah satu ciri dari revolusi ini adalah penolakan terhadap paham imperialisme dari Amerika Serikat dan sekutunya, Israel. Â Ayatollah Khomeini, seorang pemimpin agama pada masanya, menganggap bahwa pemerintahan Shah sudah terlalu dicampuri dengan budaya-budaya Barat dari Amerika Serikat dan Inggris, sehingga dianggap sebagai anti-Islam. Maka dari itu, rezim Ayatollah Khomeini memutuskan hubungan Iran dengan negara-negara yang berada di sisi Amerika Serikat, salah satunya Israel. Sejak saat itu, hubungan kedua negara memburuk. Kedua negara sering melakukan serangan-serangan terhadap satu sama lain, namun dilakukan secara rahasia, dan kedua pihak pun tidak pernah mengakui serangan-serangan tersebut sebagai tindakan dari masing-masing negara. Inilah yang menyebabkan timbulnya istilah 'perang bayangan' bagi hubungan konflik Israel dan Iran. Iran bahkan membentuk jaringan organisasi yang bersekutu dengan Teheran, salah satunya yang paling banyak dikenal adalah Hizbullah.
Hingga sekarang, hubungan keduanya semakin memanas lagi karena penyerangan yang dilakukan Israel ke wilayah di Damaskus, Suriah, lebih tepatnya penyerangan terhadap gedung Kedutaan Besar Iran pada tanggal 1 April 2024 yang lalu. Penyerangan ini menewaskan 16 orang, termasuk 7 orang pejabat tinggi Iran. Tak lama setelah itu, pada tanggal 14 April 2024, serangan balasan dilakukan oleh Iran kepada Israel dengan meluncurkan serangan udara yang mencakup 170 drone, 30 rudal jelajah, serta 110 rudal balistik. Penyerangan yang dilakukan oleh Iran disebut-sebut sebagai 'momen bersejarah' oleh para pengamat politik, karena merupakan kali pertama bagi Iran untuk meluncurkan serangan militer dari negaranya sendiri, dan juga menjadi momen yang memperjelas relasi buruk antara kedua negara yang selama ini berada di dalam perang bayangan, bisa menjadi perang terbuka. Walaupun dilaporkan bahwa hampir 99% serangan yang dilancarkan Iran terhadap Israel berhasil ditepis oleh sistem pertahanan udara milik Israel, tetapi Israel kembali melancarkan serangan balasan pada 19 April 2024, yang terjadi ke sebuah markas angkatan udara di dekat wilayah Isfahan. Tak cukup hanya menyerang balik di satu wilayah, Israel juga menyerang Iran di Tabriz. Â
Peperangan antar kedua negara ini menambah ketegangan yang masih terjadi di Timur Tengah hingga saat ini. Lebih lagi, wilayah Timur Tengah tidak menjadi satu-satunya wilayah yang terdampak, tetapi dampak memanasnya situasi di wilayah tersebut juga turut dirasakan secara global, terutama sektor perekonomian. Sebelum terjadinya serangan balasan yang dilancarkan Israel pada tanggal 19 April kemarin, para ahli sempat menyebutkan bahwa konflik di wilayah tersebut memang akan memengaruhi perekonomian secara global, namun hal tersebut akan berangsur-angsur membaik. Walaupun demikian, para ahli juga menyatakan bahwa ini tidak menutup kemungkinan kondisi bisa saja berubah drastis menjadi lebih buruk  jika Israel melakukan serangan balik kepada Iran. Hal ini dikarenakan Timur Tengah, terlebih lagi Iran, dikenal sebagai wilayah penghasil minyak dunia, bahkan menempati posisi di dalam daftar 10 negara penghasil minyak terbesar di dunia. Namun dengan adanya konflik-konflik yang terjadi di wilayah tersebut, seperti genosida di Palestina, konflik antara Israel dan Iran, perputaran uang di dunia pun terkena dampaknya. Rute-rute perdagangan seperti Selat Hormuz yang seringkali dipergunakan dalam perdagangan internasional sebagai jalur pengiriman minyak dari Teluk Persia,  menjadi terganggu. Bahkan menurut data dari Badan Informasi Energi Amerika Serikat, distribusi minyak yang memakai rute di Selat Hormuz mencapai 21 juta barel per harinya. Ini setara dengan 21% penggunaan minyak secara global. Lalu krisis kemanusiaan yang meningkatkan jumlah pengungsi dari negara terlibat perang sehingga berdampak pula kepada kenaikan ekonomi negara-negara tetangga yang menampung para pengungsi, dan juga terjadinya inflasi secara mendunia dikarenakan alur produksi dan distribusi minyak bumi dan gas terganggu.
Indonesia turut menjadi salah satu dari negara-negara di dunia yang terdampak oleh perang antara Israel dan Iran. Sebagai salah satu negara yang mengimpor minyak dari wilayah Timur Tengah, Indonesia terdampak akan naiknya harga minyak dan gas. Bahan Bakar Minyak (BBM) dan gas menjadi elemen penting dalam kegiatan produksi dan distribusi barang dan jasa. Dengan meningkatnya harga minyak dan gas yang diimpor dari Timur Tengah, maka biaya produksi suatu barang atau jasa juga akan meningkat. Akibatnya, produsen akan menaikkan harga apa yang menjadi barang atau jasanya untuk memperoleh balik modal. Masyarakat dari kelas menengah ke bawah akan menjadi yang paling terdampak dengan kenaikan harga barang. Barang-barang akan semakin sulit untuk diperoleh bagi mereka, dan tuntutan masyarakat akan penurunan harga barang bisa saja terjadi, yang bisa berakibat kepada ketidakstabilan ekonomi maupun politik di dalam negeri.
Oleh sebab itu, pemerintah harus segera mengambil keputusan dan membuat kebijakan yang sekiranya dapat mengantisipasi ketidakstabilan dalam negeri dan tetap menjaga kedaulatan Indonesia. Presiden Joko Widodo telah mengumpulkan para menteri untuk membahas bagaimana perang Israel dan Iran berdampak pada sektor perekonomian negeri. Dari hasil pertemuan tersebut, dilaporkan bahwa akan ada kebijakan sebagai bentuk antisipasi dari pemerintah, seperti bauran fiskal dan moneter, menjaga stabilitas nilai tukar, menjaga anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), serta memantau kenaikan harga logistik dan minyak bumi. Walaupun tidak disebutkan secara jelas tentang bagaimana langkah-langkah yang akan diambil pemerintah untuk mengeksekusi kebijakan-kebijakan tersebut, namun kebijakan-kebijakan tersebut bisa membantu menyokong kestabilan dalam negeri untuk sementara waktu hingga situasi konflik agak mereda. Pemerintahan juga bisa meningkatkan daya ekspor dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di dalam negeri untuk menjaga kestabilan ekonomi negara.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI