Singkirkan dulu semua keluh kesah tentang masalah di sana sini yang melanda bangsa kita dan sedikit berpaling dari kehebohan yang kurang mendidik dari video-video apapun di luar sana. Terlepas dari banyaknya kelemahan yang bangsa dan negara besar ini miliki, tahukah Anda bahwa Indonesia sebenarnya dianggap sebagai sebuah pusat berkembangnya entrepreneur-entreprenur makmur oleh bangsa-bangsa lain? Hal ini saya ketahui setelah membaca tulisan menarik yang diterbitkan oleh Sarah Lacy di situs TechCrunch.com. Tulisan Lacy tersebut berkisah seputar kunjungan singkatnya di Surabaya, Indonesia dan pertemuannya dengan figur Ciputra yang ikonik tersebut. Ia mengunjungi Universitas Ciputra dan menyatakan kekagumannya atas antusiasme para mahasiswa yang mengiikuti kuliah di sana. Lacy  bahkan terkejut saat salah seorang mahasiswa dengan penuh percaya diri mengatakan bahwa suatu saat nanti Lacy akan menulis sebuah buku tentang dirinya (mahasiswa tersebut). Lacy - yang secara jujur mengakui ia percaya bahwa seorang entrepreneur sejati itu bukan diciptakan tetapi dilahirkan- di akhir tulisannya menanyakan bagaimana pendapat Ciputra mengenai pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini. Ciputra berpendapat bahwa ia yakin sebagian besar generasi muda secara alami telah memiliki bakat untuk menjadi seorang entrepreneur/ wirausahawan. Yang menjadi masalah, lanjut Ciputra, adalah seberapa besar peran lingkungan dalam menumbuhkan atau menekan bahkan menghapus bakat yang sudah tertanam. Semua faktor penghalang tersebut harus diimbangi dengan peran orang tua, masyarakat atau sekolah yang dengan aktif mendorong dan meyakinkan anak-anak tersebut untuk bangga menjadi seorang entrepreneur. Diakui oleh Ciputra bahwa Indonesia akan jauh lebih maju dan makmur daripada sekarang jika persentase jumlah entrepreneur meningkat. Di saat sekarang, jumlah entrepreneur dibanding jumlah penduduk secara keseluruhan sangat timpang karena hanya kurang dari satu persen. Anda dapat bandingkan dengan Singapura (7%) dan AS (13%). Ini adalah fakta yang sangat menohok karena sebenarnya banyak kaum muda yang kreatif dan cerdik cendekia di Indonesia yang sangat berpotensi untuk menjadi entrepreneur tetapi lebih memilih menjadi pegawai baik negeri maupun swasta. Mereka tidak keberatan menjadi pegawai negeri yang bergaji relatif lebih kecil karena peluang mendapatkan 'penghasilan sampingan' akan lebih banyak (sumber). Pola pikir seperti inilah yang pada akhirnya membuat KKN tetap sulit dihapuskan dari Indonesia. Kenyataan inilah yang mendorong Ciputra untuk menata kembali pola pikir bangsa yang cenderung mengagungkan posisi karyawan/ pegawai. Ia berharap bahwa dengan adanya universitas ini, orang akan lebih menyadari bahwa menyelesaikan kuliah bukan untuk mendapatkan pekerjaan tetapi menciptakan pekerjaan! Sebuah komentar di bawah tulisan Sarah Lacy yang diposkan oleh Danny_Fr juga terasa memberikan semangat bagi kita semua untuk menjadi bangsa entrepreneur. Inilah komentar tersebut: "Mark my words: Indonesia is an entrepreneur powerhouse. The country is on a nearly 100% capitalist regime, with all its good and bad side. What's happening is, in a culture where solidarity is an instinct more that an trait, wealthier people like Ciputra, Bakrie, Putra Sempoerna, are getting tired of seeing their country pulled down by brain leakage and improper access to education. So they're taking the education of their hard working, clever fellow Indonesian in their own hands. Most of the time it's out of real concern, and not just a PR move.The archipelago is still very young and emerging from a huge political crisis after a long colonial period, and the political system is still too immature to support the citizen, but it's also a gigantic online community, the second on Twitter, the first on Facebook mobile.The new world order will be online, not on land. I move there believing that, in 10 to 15 years from now, Indonesia will see an unprecedented growth and technological involvement. I'll cut my left pinkie if I'm wrong."
Jadi, siapkah para Kompasianer menjadi entrepreneur? (Juga diterbitkan di sini)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H