Mohon tunggu...
Ciput Putrawidjaja
Ciput Putrawidjaja Mohon Tunggu... Praktisi Inovasi dan Inkubasi Bisnis Teknologi Kelautan -

Direktur Badan Pengelola Marine Science Techno Park Universitas Diponegoro (MSTP UNDIP)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Buku Tentang "Indonesia" yang Pertama Terbit di Eropa

8 Oktober 2015   00:48 Diperbarui: 8 Oktober 2015   01:12 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Description Historique du Royaume de Macassar"][/caption] Adalah sebuah buku berjudul asli "DESCRIPTION HISTORIQUE DU ROYAUME DE MACASSAR" (Rincian Sejarah Kerajaan Makassar) yang diterbitkan pertama kali di Perancis 327 tahun silam! Bukan ditulis oleh seorang penulis Belanda, melainkan justru oleh seorang penulis berkebangsaan Perancis bernama Nicolas Gervaise. Edisi pertama buku ini diterbitkan oleh penerbit Perancis, Grand Saint Grégoir milik pustakawan Hillaire Foucault di Paris pada tahun 1688, kemudian edisi kedua diterbitkan oleh penerbit Jerman, Erasmus Klinkius di Regensburg pada tahun 1700 dengan beberapa tambahan data. Edisi berbahasa Inggris terbit di London pada tahun 1701. Buku ini terbit 19 tahun setelah berakhirnya perang antara Kesultanan Gowa di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin melawan VOC (1666-1669).

Sampai saat itu nama Makassar tak dikenal dan menjadi perhatian masyarakat Perancis. Tidak ada satupun tulisan yang diterbitkan dalam bahasa Perancis, atau Belanda sekalipun, mengenai Makassar khususnya, atau pulau Sulawesi pada umumnya sampai awal abad 18. Tiga pertanyaan muncul di benak: Siapa sebenarnya Gervaise, apa latar belakang dari penerbitan bukunya, dan dengan cara bagaimana ia mendapatkan informasi mengenai buku itu? Tapi sebelum Anda menjawab, mari kita urai secara singkat megenai isi buku tersebut.

Buku itu terbagi menjadi tiga bagian.

BUKU PERTAMA

Buku Pertama, menceritakan tentang situasi negara, buah-buahan, tanaman, hewan, sungai dan kota-kota besar, yang diawali dengan penjelasan singkat mengenai peperangan melawan Toraja oleh seorang Raja Makassar yang oleh penulis disebut “Craen Biset“- yang kemungkinan merujuk ke Sultan Ali yang bergelar Karaeng ri Bisei yang merupakan penguasa Gowa tahun 1674-1677 (orang Eropa menyebut Gowa sebagai Macassar). Penulis melanjutkan bahagian pertama itu dengan deskripsi negeri Toraja dan hal lainnya menyangkut flora, fauna, produk masyarakatnya, dll.

Dia menceritakan, antara lain mengenai buah sukun yang dia sebut “bacaran” (Makassar Bakara) sebagai makanan penting bagi orang Toraja, dan perdagangan yang dilakukan melalui Mamuju, tepung atau bahan yang digiling, menanam opium, juga membubuhi racun pada anak panah sumpitan yang didapatkan dari pohon tertentu. Dalam buku itu juga diberikan beberapa nama buah dalam bahasa Makassar; onti (pisang), lame (pisang), sikapa’ (ubi kelapa) dan tentang bunga mawar yang disebut bungajê’nê mawara (bunga air mawar), yang dapat dijadikan parfum dan pengharum kuburan, sehingga disebut juga bunga Jera (bunga orang mati).

Penulis buku itu kemudian berbicara tentang aktivitas pelabuhan Makassar, yang mengingat letaknya yang strategis telah menarik minat Belanda untuk menguasainya. Kisah perang yang dilancarkan Belanda tahun 1650 melawan Makassar sampai kekalahan mereka tahun 1660 (yang hanya berlaku sementara). Dalam peristiwa ini, penulis memberikan perhatian khusus kepada sosok yang ia sebut sebagai Daeng Mangalle yang diiidentifikasi sebagai adik dari Sultan yang memerintah pada saat penulisan buku tersebut. Sosok ini, yang mengambil bagian aktif dalam perjuangan melawan Belanda, dan sangat menentang perjanjian damai dengan mereka pada tahun 1660, adalah korban dari intrik politik dan dipaksa mengasingkan diri, pertama di Jawa, di mana ia menikah dengan seorang putri Jawa. Karena takut oleh kejaran pasukan Belanda, ia terpaksa melarikan diri ke Siam bersama 200 orang pengikutnya pada tahun 1664 dan rupanya diterima dengan baik oleh Raja Phra Narai, dan diperbolehkan menetap di pinggiran ibukota Ayutthaya, dengan diberikan hadiah berupa tanah dan mesin pertanian.

Namun, pada tahun 1686, orang-orang Makassar ini dianggap terlibat pemberontakan bersenjata melawan raja dan akhirnya semua terbunuh, kecuali dua pangeran Makassar, yang menurut penulis, dikirim ke Perancis dan dididik di Clermont College (Jesuit College, yang kemudian menjadi sekolah dan perguruan tinggi Louisle – Grand) di Paris.

BUKU KEDUA

Buku Kedua mengulas tentang “Sifat dan kebiasaan orang Makassar, pemerintahannya, mata pencaharian, seni-permainan, pakaian dan adat pernikahan. Bahagian ini dimulai dengan menceritakan bagaimana mendidik anak (intelektual dan manual), karakter orang Makassar dan sikap mereka terhadap harga diri (siri’) yang membuat mereka lebih memilih mati daripada terhina – bagaimana wanita berperilaku, terutama wanita bangsawan, terhadap laki-laki lain selain suami mereka. Juga mengenai pelatihan memainkan senjata bagi remaja muda, dan permainan kesukaan pemuda yakni gasing, sabung ayam, dan layang-layang. Penulis juga mencatat bahwa lima puluh tahun sebelumnya, raja berhasil menerbangkan layang-layang besar dengan lebar sayap 30 kaki, dilengkapi dengan bunyi-bunyian dan ekor yang panjangnya 30 kaki. Pesta layangan ini ditampilkan dalam sebuah ritual yang menandai berakhirnya masa panen, mengambil tempat di sebuah lapangan besar bernama Karebosi.

Kemudian penulis juga menceritakan tentang makanan kesukaan sehari-hari – yang selalu dihadirkan sebagai santapan – di Makassar yakni minuman pedas yang disebut “sorbec”, dari bahasa Arab yang menjadi sara’ba dalam bahasa lokal.
Gervaise kemudian menuliskan tentang kepemilikan budak oleh para bangsawan yang juga menunjukkan martabatnya, di mana diungkapkan sebagai niya ata (“dia budak”) untuk menyatakan posisi sosial-ekonomi seseorang. Juga ditegaskan bagaimana aturan berperilaku ketika berkunjung ke rumah seseorang yang derajatnya lebih mulia, dengan mengucapkan kesan penghormatan saat masuk sesuai dengan derajatnya, “Maiki Daeng” atau “Maiki Kare”, dengan cara yang sama ketika meninggalkan rumah tersebut dengan berkata ‘Lampama’ Daeng, yang dijawab dengan Lamapamaki’ Daeng. Gervaise juga mencatat di buku ini tiga gelar kebangsawanan, yang Daeng, Kare dan Lolo, tetapi ia juga mencatat gelar yang lain yang peringkatnya lebih tinggi, sebagai “Craen” (Karaeng). Untuk penguasa, maka penyebutannya akan menjadi “Sombanco” (Sombangku). Ada ungkapan dari raja Perancis Louis XIV yang menyatakan ketakjubannya tentang hierarki gelar kebangsawanan Makassar bahwa “Tidak ada, orang-orang di dunia di mana bangsawan lebih dijiwai dengan derajat mereka selain orang-orang Makassar” – meskipun pernyataan ini masih diragukan kebenarannya.

Penulis kemudian beralih menceritakan tentang pemerintahan kerajaan Gowa, di mana ia menekankan secara akurat bagaimana peran menonjol dari Perdana Menteri (pada saat itu dijabat oleh Karaeng Karunrung yang terkenal), yang memiliki otoritas penuh atas urusan sipil sementara raja memiliki kekuasaan tertinggi atas hokum dan pernyataan perang. Tentara kerajaan, menurutnya (yang tampaknya bukanlah tentara profesional) berjumlah 10.000 orang di masa biasa, tetapi kemudian jumlah ini meningkat menjadi 100.000, termasuk 12.000 penunggang kuda pada saat berkecamuk perang melawan Belanda. Angka-angka ini mungkin kelihatan berlebihan, namun jumlahnya rupanya sebanding dengan apa yang telah dipaparkan oleh sejarawan Leonard Andaya. Dengan menyimak penjelasan yang cukup rinci dari organisasi dan persenjataan militer, Gervaise juga mencatat mengenai hukuman bagi para desertir. Gervaise menyatakan bahwa bangsawan tidak dapat dihukum mati, kecuali dalam kasus pengkhianatan di mana hukumannya adalah bahwa pelaku dapat dimasukkan ke dalam kuali berisi air panas (hukuman yang juga berlaku bagi kasus pelanggaran serius dari hukum yang berlaku).

Dalam pembahasannya mengenai praktek pelaksanan hukum, penulis mencatat peran penting Syahbandar, yang tak hanya berfungsi sebagai kepala pelabuhan, tetapi juga bertindak selaku kepala kepolisian. Jabatan lain yang penting dan resmi, menurut Gervaise, adalah apa yang ia sebut sebagai “petugas” (dia tidak memberikan nama jabatan dalam bahasa Makassar) yang bertanggung jawab atas pencatatan transaksi dan pernikahan – mungkin mirip dengan jabatan penghulu agama dalam masyarakat Jawa. Tidak ada, menurut Gervaise, hal yang lebih penting bagi masyarakat Makassar, terutama bagi kaum bangsawan, melainkan pernikahan itu – yang masih berlaku saat ini – mengenai kebiasaan mempertunangan sejak masa kanak-kanak dan aturan mengenai mahar/panaik. Jalannya ritual pernikahan, saat ia menjelaskan hal itu dalam bukunya, memiliki beberapa perbedaan dengan yang berlaku saat ini. Bagian kedua buku ini berakhir dengan aturan untuk pembagian warisan.

[caption caption="Sampul Buku Description Historique du Royaume de Macassar"]
[/caption]BUKU KETIGA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun