Hak asasi manusia atau sering orang menyebutnya dengan ‘HAM’ merupakan hak yang dimiliki oleh semua orang. Hak-hak dasar ini telah melekat pada diri manusia sejak dilahirkan ke dunia ini. HAM merupakan topik yang sensitif bagi kita semua untuk diperbincangkan karena menyangkut apa yang dimiliki oleh semua orang, karena itulah isu-isu hangat tentang HAM selalu menjadi berita yang menarik untuk di dengarkan, terutama jika topik yang dibahas adalah kasus pelanggaran Hak asasi manusia yang terjadi di dunia ini. Bicara mengenai hal tersebut, di Indonesia sendiri telah banyak terjadi pelanggaran HAM, baik yang dilakukan oleh masyarakat, aparat keamanan maupun oleh pemerintah sendiri. Hal ini dapat ditunjukan dengan adanya korban akibat berbagai kerusuhan yang terjadi di tanah air. Misalnya, Gerakan 30 September / PKI tahun 1965, Kasus Timor-Timur pada tahun 1971-1977 dan 1982-1997, Penembakan terhadap mahasiswa pada peristiwa Semanggi I dan II tahun 1998 dan lain-lain.
Jenis pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia sendiri berbeda-beda dan dapat di kelompokan tergantung seperti apa pelanggaran yang dilakukannya. Dibawah ini merupakan contoh beberapa kasus pelenggaran HAM yang terjadi di Indonesia sekaligus pengelompokan dari pelanggaran HAM itu sendiri. Menurut pakar hukum Adnan Buyung Nasution pelanggaran HAM dapat dikelompokan menjadi 4 golongan, yaitu :
(1) Kejahatan terhadap kemanusiaan, contohnya:
a. Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh,
b. Gerakan 30 September / PKI tahun 1965,
c. Kasus Timor – Timur pada tahun 1971 – 1977 dan 1982 – 1997,
d. Penembakan terhadap mahasiswa pada peristiwa Semanggi I dan II tahun 1998,
e. Peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 dengan pembunuhan terhadap kelompok umat Islam,
f. Penembakan terhadap mahasiswa Universitas Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 dengan gugur 4 orang pahlawan Revolusi.
(2) Kejahatan terhadap integritas orang, contohnya:
a. Penembakan misterius tahun 1982 – 1983,
b. Penghilangan orang (Timor – Timur) tahun 1977 – 1982,
c. Arbritory arrest dan dentemtion (komunis) tahun 1965 – 1971,
d. Arbritory arrest dan dentemtion (Peristiwa Malari) tahun 1971 – 1977,
e. Peristiwa 27 Juli 1996 yaitu penyerbuan, perusakan dan pembunuhan pada markas PDI.
(3) Tindakan kekekarasan terhadap hak sipil dan politik, contohnya:
a. Kebijakan kemerdekaan berpendapat yang dilanggar,
b. Kemerdekaan berserikat dan berkelompok yang secara stematik dilanggar,
c. Kebijakan dari lembaga ekstra yudisial yang mencampai fungsi kehakiman,
(4) Tindak kekerasan terhadap hak sosial ekonomi dan budaya, contohnya:
a. Proses kemiskinan,
b. Pelanggaran terhadap lingkungan hidup,
c. Pelanggaran terhadap hak – hak masyarakat adat.
Selain dari contoh kasus-kasus diatas, pada sekarang ini juga sudah mulai banyak kita mendengar dan menemukan pelanggaran HAM di sekitar kita yang menimpa anak-anak. Misalnya, dalam kehidupan sehari-hari kita menyaksikan banyak anak (dibawah umur 18 tahun) dipaksa harus bekerja mencari uang, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya maupun untuk membantu keluarganya atau pihak lain. Ada yang menjadi pengamen di jalanan, menjadi buruh, bahkan dieksploitasi untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak patut. Mereka telah kehilangan hak anak berupa perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara, perlindungan dari eksploitasi ekonomi, dan pekerjaan. Selain itu juga kita dapat menemukan sejumlah kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak (di bawah umur 18). Contoh pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak-anak adalah penggunaan narkoba, penganiayaan, pemerasan, pemerkosaan, pencurian, perjudian, pembunuhan, perampasan, perampokan, penodongan, perkelahian, penjambretan dan curanmor.
Dalam kehidupan sehari–hari kasus pelanggaran HAM oleh seseorang/masyarakat terutama pada perbuatan main hakim sendiri, seperti pertikaian antar kelompok (konflik sosial), pengeroyokan, pembakaran sampai tewas terhadap orang yang dituduh atau ketangkap basah melakukan pencurian. Kebiasaan pengeroyokan sebagai bentuk main hakim sendiri dalam menyelesaikan pertikaian atau konflik juga tampak sangat kuat di kalangan para pelajar.
Hal ini tentunya sangat memprihatinkan, karena mencerminkan suatu kehidupan yang tidak beradab yang semestinya dalam menyelesaikan persoalan (konflik) dilakukan dengan cara–cara yang bermartabat seperti melakukan perdamaian , mengacu pada aturan atau norma yang berlaku, melalui perantara tokoh–tokoh masyarakat/adat, dan lembaga–lembaga masyarakat yang ada. Seharusnya dengan cara-cara seperti inilah kita menyelasaikan konflik yang terjadi agar tidak menimbulkan efek samping yang merugikan bagi masyarakat terutama untuk menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran HAM dan menguranginya di masa yang akan datang.
Demikian postingan hari ini, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Sekian dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H