Candi Kalasan secara arsitektur dan ornamentik telah menyuguhkan konsep seni yang indah dan megah. Keindahan dan kemegahan candi tersebut sudah terukir sejak abad VIII M. Jika disimak dari angka tahun Prasasti Kalasan, maka Candi Kalasan dibangun pada tahun 778 M. Inilah fakta bahwa nenek moyang kita bukan saja "seorang pelaut", namun juga sudah menunjukkan "seorang seniman" yang telah menunjukkan karya besar di bidang seni dan teknologi yang bisa disebut luar biasa. Pendek kata, nenek moyang kita dalam hal seni dan teknologi telah menunjukkan kehebatanya (bukan "kaleng-kaleng").
 Sejarah Candi KalasanÂ
Mempelajari Sejarah Candi Kalasan berarti berusaha mengetahui aspek waktu, aktor dan peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Jejak Candi Kalasan dapat disimak pada prasasti yang ditemukan di halaman candi saat Candi Kalasan dipugar. Prasasti tersebut adalah Prasasti Kalasan yang berangka tahun 778 M. Prasasti ini sepertinya merupakan bukti tertulis tertua candi yang bercorak Budha di Jawa Tengah dan DIY.
Salah satu isi pokok Prasasti Kalasan berbunyi "para guru sang raja yang merupakan mustika keluarga Sailindra (sailindrawamsatilaka) berhasil membujuk Maharaja Tejahpurnapana Panangkarana untuk membangun bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah biara bagi para pendeta dalam kerajaannya". Â Â Â Â Â Â Â Â (Sartono Kartodirdjo, dkk,1975:87).
Isi prasasti tersebut, walaupun masih menimbulkan tafisir beda dari para sejarawan; namun sudah dapat memberikan gambaran untuk bisa menjawab tiga pertanyaan di atas yaitu kapan Candi Kalasan dibangun, siapa yang memerintah (aktor/tokoh) yang memerintah dan peristiwa apa yang terjadi pada masa itu.
Berdasar prasasti Kalasan dapat diketahui bahwa Candi Kalasan dibangun tahun 778 M atas perintah Tejahpurnapana Panangkarana. Nama ini diduga kuat sebagai nama Raja Panangkaran. Nama raja ini disebut dalam prasasti Mantyasih (907 M) maupun Wanua Tengah III (908 M) sebagai pengganti raja Sanjaya. Dengan kata lain raja Panangkaran adalah raja kedua dari dinasti Sanjaya yang beragama Hindu yang memerintah tahun 746 M-784 M.
Sedangkan peristiwa yang terjadi setidaknya belum adanya tempat suci agama Budha yang berada di wilayah Kalasan dan sekitarnya (pada masa itu). Mungkin saja agama Budha sudah berkembang di wilayah Kalasan sekitarnya saat itu. Maka para guru Sailindra meminta kebijaksanaan kepada raja Panangkaran agar dibangunkan bangunan suci Budha untuk menyembah Dewi Tara dan biara bagi para pendeta Budha, walaupun Panangkaran beragama Hindu. Tempat tersebut adalah Candi Kalasan.
Candi Kalasan merupakan peninggalan agama Budha yang tertua di wilayah Yogjakarta (Sri Muryantini Romawati,dkk, 2008). Namun berdasar fakta yang ada, sangat mungkin Candi Kalasan merupakan candi Budha tertua di DIY dan Jawa Tengah. Candi Kalasan dibangun tahun 778 M, selisih 46 tahun dari raja Sanjaya membuat Candi Gunung Wukir (732 M).
Hadirnya raja Panangkaran di prasasti Mantyasih dan Wanua Tengah yang menjelaskan silsilah raja-raja dinasti Sanjaya yang beragama Hindu, yang juga disebut dalam prasasti Kalasan yang menjelaskan identitas tempat pemujaan bercorak Budha; akhirnya memunculkan perdebatan para sejarawan.
Tulisan ini tidak akan mengulas perbedaan tafsir para sejarawan tentang tokoh yang disebut di dalam prasasti Kalasan yaitu Maharaja Tejahpurnapana Panangkarana. Namun hanya ingin menguraikan sekilas tentang sejarah yang melatarbelakangi Candi Kalasan dibangun. Â
Seperti candi yang lain, struktur bangunan Candi Kalasan terdiri dari kaki candi, badan candi, dan atap candi. Semua komponen candi terbuat dari batu andesit. Berdasar pengamatan, kaki candi dan badan candi berbentuk bujursangkar. Kaki candi mempunyai alas. Beberapa sumber menyebutnya dengan istilah soubasement. Â Menurut Kempers (Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY:4) menjelaskan bahwa kaki candi berlipat ganda membentuk susunan lapik atau alas bujursangkar dengan sisi 45 m, kemudian diatasnya terdapat kaki candi yang sesungguhnya (soubasement) sebagai pendukung tubuh candi.
Paduan struktur candi dari alas kaki, kemudian menempel di kaki candi dan tubuh candi, membuat bangunan Candi Kalasan terlihat indah dan megah. Sisi estetis sudah terlihat dari alas candi sampai puncak candi. Kesempurnaan estetika yang menjadikan Candi Kalasan tambah mempesona dengan adanya dominasi hiasan kala di setiap relung maupun semua penampil candi yang menjorok ke luar. Belum lagi adanya relief jambangan yang memuntahkan bunga-bunga dan sulur-sulur yang ada di bagian kaki candi, menambah pesona dan keindahan Candi Kalasan makin terlihat indah, megah dan mewah.
Pada badan candi, di semua sisi terdapat pintu dengan penampil yang menjorok ke luar. Menariknya, di setiap penampil terdapat relung yang dihiasi dengan hiasan kala di atas relung candi. Namun isi relung kosong. Dimungkinkan dulunya berisi tentang arca Bodhisatwa.
Selain tubuh candi  memiliki penampil yang menjorok keluar,  di bagian permukaan luar tubuh candi terdapat relung yang dihiasi sosok Dewa yang memegang bunga teratai dengan posisi berdiri. Adanya arca yang berada di salah satu relung tersebut membuat tubuh Candi Kalasan menampilkan warna-warni jenis relief yang bernuansa kosmos.  Hiasan kala yang mendominasi juga dilengkapi dengan relief arca Dewa memegang bunga Teratai tidak saja menambah sisi estetika ornamen, namun juga menunjukkan adanya nuansa spiritual yang terpancar pada relief tersebut. Seperti terlihat pada gambar di atas, pada badan candi bagian atas terdapat bangunan berbentuk kubus yang di sekitarnya terdapat stupa-stupa, sehingga nampak seperti pegunungan (Mahameru).
Adapun pintu masuk ruang utama masuk berada di sebelah timur. Menurut para ahli di dalam ruang utama terdapat sebuah singgasana berbentuk Singa duduk di atas punggung Gajah. Diduga kuat di atas singgasana tersebut berdiri Arca Dewi Tara (Edy Sedyawati,2013:162). Penulis tidak bisa melihat ruang utama karena semua pengunjung dilarang masuk ke ruang utama. Mungkin lebih pada pertimbangan keamanan, sehingga pengunjung dilarang masuk ke ruang utama. Berdasar isi prasasti Kalasan dan dugaan adanya Arca Dewi Tara di ruang utama, Candi Kalasan disimpulkan berciri Budha, selain adanya beberpa stupa di atap candi dan diluar candi induk. Atap candi apabila dilihat dari dalam nampak berlubang.
Selanjutnya tentang atap candi Kalasan. Edi Sedyawati,dkk.,2013:162) memberikan penjelasan bahwa atap candi berbentuk segi delapan yang terdiri dari tiga tingkatan. Pada tingkat pertama dihiasi arca Bodhisatwa dalam sikap duduk. Atap tingkat kedua dihiasi arca-arca Dhyani Budha yang diapit oleh Bodhisatwa. Pada tingkat ke tiga terdapat delapan relung yang masing-masing relung diisi oleh arca Dhyani Budha, namun sekarang hanya tersisa satu buah. Terakhir adalah puncak candi. Pada puncak candi terdapat stupa, namun sekarang tidak ada.
Dari gambar di atas menunjukkan keindahan arsitektur pada atap Candi Kalasan. Atap candi terdapat ornamen perpaduan Bodhisatwa dan Dhyani Budha dalam berbagai posisinya dengan relung-relung candi yang menjadi singgasananya. Ornamen demikian makin melengkapi keindahan dan kemegahan  bangunan Candi Kalasan. Atap candi seakan menggambarkan tempat bersemayamnya para dewa yang yang dipuja dalam kehidupan. Sayangnya, komponen-komponen tersebut sudah banyak yang hilang, termasuk stupa yang berada di puncak candi. Â
Berdasar fakta-fakta di atas, Balai Pelestarian Cagar Budaya (tt.,hal.4) menyimpulkan bahwa Candi Kalasan merupakan karya arsitektur yang sangat indah  baik fisik maupun ornamennya. Berdasar pengamatan di lapangan, karya arsitekturnya dapat dilihat pada tata bangun candi dengan empat penampil serta relung-relung candi berikut hiasan kala yang menyertainya. Keindahan ornamen dapat dilihat pada relief yang menghiasi dari kaki candi sampai atap candi.
Keindahan Candi Kalasan
Di atas telah diuraikan bahwa Candi Kalasan adalah bukti adanya karya arsitektur yang sangat indah baik  fisik maupun ornamennya. Secara fisik nampak pada struktur bangunan candi dari kaki, badan, dan atap yang berbentuk bujursangkar. Selain itu juga dapat dilihat pada ruang penampil yang ada di semua sisi candi. Penampil yang berada di semua sisi memberikan kesan bahwa Candi Kalasan menampilkan gaya arsitektur dengan sentuhan teknologi tinggi. Maka ketika dilihat dari alas kaki candi, badan candi dan atap candi, menampilkan postur Candi Kalasan yang indah dan megah pada zamannya.
Relief Candi Kalasan didominasi oleh hiasan kala yang membentang dari semua sisi penampil di badan candi sampai atap candi. Hiasan kepala kala hanya ditemukan di sisi utara dan selatan. Hiasan kala yang demikian memberikan kesan yang tidak saja indah, namun juga menunjukkan kesatupaduan seni dengan nuansa spiritual.
Keindahan berikutnya adalah terletak pada ornamen yang memadukan unsur estetika dan nuansa spiritual Budhis. Unsur estetika dapat dilihat pada tampilan relief yang halus dan bervariasi. ÂBerdasar paparan fakta dan data yang berupa struktur candi, arsitek candi, ornamen candi, dan komponen lainnya yang menyertai, menunjukkan bahwa Candi Kalasan merupakan karya arsitektur yang indah dan megah baik secara fisik maupun ornamennya. Hal tersebut menunjukkan bahwa seni dan teknologi (khususnya membangun candi) bangsa kita sudah dapat dikategorikan luar biasa. Sebab candi tersebut berdasar data tertulis (prasasti Kalasan) dibangun tahun 778 M.
Seperti pembangunan candi yang lain, pembangunan Candi Kalasan juga disesuaikan dengan konsep mitologi yang dipedomani. Pola bujursangkar dari kaki dan badan candi dan segi delapan pada atap candi merupakan keunikan Candi Kalasan. Pola hias kala yang mendominasi candi juga menjadi keunikan lain Candi Kalasan. Sehingga Candi Kalasan benar-benar menampilkan cita rasa keindahan arsitektur baik fisik maupun ornamen yang menakjubkan. Pertanyaanya, mungkinkah keindahan tersebut berkorelasi dengan simbolisasi "Sang Navigator Jiwa?" Uraian berikut akan menguraikan hal ikhwal ini.
 Dewi Tara, Sang Navigator Jiwa
Seperti pada system panteon Hindu, dalam Budha juga dikenal hirarki dewa-dewa, walaupun pada awalnya agama Budha tidak mengenal konsep dewa (Agus Tri Hascaryo,2002:97). Maka dapat dimegerti bahwa lahirnya konsep dewa dalam agama Hindu akibat terpengaruh oleh system panteon agama Hindu.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa hirarki panteon dewa-dewa dalam Budhis terdiri atas Adibudha, Dhyanibudha, Bodisatwa, dan Manusi Budha. Adibudha disebut sebagi esensi tertinggi yang bersifat swayambhuwa dan berkedudukan di pari-nirwana. Sehingga dapat dimengerti bahwa Adibhuda merupakan hirarki tertinggi dalam system panteon agama Budha. Pancaran Adibudha melahirkan Dhyani Budha Wairocana, Dhyani Budha Aksobya, Dhyani Budha Ratna sambhawa, Dhyani Budha Amitaba, dan Dhyani Budha Amogasidhi.
Para Dhyani Budha tersebut berkedudukan di nirwana. Dalam proses semedi Dhyani Budha, lahirlah Bodisatwa. Maka Bodisatwa disebut sebagai anak spiritual Dhyani Budha ((Agus Tri Hascaryo,2002:97). Maka kehadiran Bodisatwa karena kehendak Dhyani Budha.
Dalam perkembangannya, di agama Budha tidak saja mengenal Bodisatwa, namun juga mengenal Bodisatwadewi. Soedewo, dkk.,2011 menjelaskan bahwa Dewi Tara adalah salah seorang Dewi dalam agama Buddha (https://kebudayaan.kemdikbud.go.id). Dewi Tara disembah dan dipuja sebagai simbol kebijaksanaan dan pencerahan jiwa. Sehingga Dewi Tara disebut Ibu dari semua Buddha. Karena semua Buddha tercerahkan dengan kebijaksanaannya. Dewi Tara juga dianggap sebagai dewi tertinggi Budha Wanita (Agus Tri Hascaryo, dkk,2002:99).
Berdasar paparan pendapat di atas, dapat diketahui bahwa Dewi Tara adalah figur suci wanita Buddha. Sebagai wanita suci yang menjadi simbol kebijaksanaan dan pencerahan jiwa, maka Dewi Tara tidak hanya dipuja, namun juga menempati posisi terhormat dalam mitologi agama Budha. Oleh sebab itu menyembah Dewi Tara dianggap dapat mencerahkan jiwa bagi penganutnya.
Berdasar paparan tersebut, Dewi Tara bisa disebut sebagai sang "Navigator Jiwa". Sebab Dewi Tara yang dianggap dan diyakini sebagai pembimbing, pemberi arah jalan kehidupan bagi pemeluknya. Sebagai layaknya peran ibu selalu memberikan kasih sayang kepada nak-anaknya secara tulus. Sebagai seorang dewi tertinggi, Dewi Tara sebagai simbol kebijaksanaan. Langkah inilah yang menjadi landasan untuk melakukan pencerahan jiwa.
Posisi yang tinggi, suci dan menjadi simbol kebijakanaan dan pencerahan jiwa, maka Dewi Tara mendapatkan perhatian besar dalam pemujaan terhadap kedudukannya di agama Budha (Mahayana). Â Â
Oleh sebab itu, sangat wajar bahwa para guru Sailindra meminta agar Raja Panangkaran membuatkan tempat suci untuk Dewi Tara yaitu Candi Kalasan. Selanjutnya juga sangat wajar, bahwa Candi Kalasan dibuat dengan arsitektur yang menarik dan ornamen yang bagus dan mempesona. Tentu semua itu ditujukan agar masyarakat memperoleh jiwa yang tercerahkan oleh Dewi Tara. Sehingga tidak berlebihan bahwa dibalik kemegahan Candi Kalasan, ada korelasinya denga status Dewi Tara sebagai sang Navigator jiwa.
Referensi
- Agus Tri Hascaryo,dkk,2002. Jawa Tengah: Sebuah Potret Warisan Budaya. Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Propinsi Jawa Tengah.
- Edy Sedyawati,dkk.2013. Candi Indonesia, Seri Jawa. Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
- Priyadi Kardono,dkk.2016.Atlas Budaya Indonesia (Edisi Candi): Meneropong Candi dari Aspek Geospasial.Badan Informasi Geospasial.Bogor
- Sri Morwantini Rohmawati,dkk. 2008.Selayang Pandang Candi-Candi di Yogjakarta.Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogjakarta.
- Sartono Kartodirdjo,dkk.1975.Sejarah Nasional Indonesia II.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Jakarta
- https://kebudayaan.kemdikbud.go.id
- https://ptik.fkip.uns.ac.id/ajc/kalasan.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H