Mengurai masalah pendidikan bukanlah persoalan sederhana. Uji coba dan berbagai testimoni tentang kurikulum baru, terus menghiasi seiring dengan pergantian pemerintahan.Â
Sehingga dunia pendidikan seakan menjadi lahan eksperimen sistem kurikulum oleh pemerintah yang menghendaki agar pendidikan terus menjadi garda terdepan dalam pembangunan sumber daya manusia yang unggul, berkualitas dan berdaya saing berjiwa keindonesiaan.
Untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan kurikulum tersebut pemerintah menyusun alat evaluasi yang bersifat nasional sebagai standarisasi pendidikan tingkat nasional.Â
Maka Ujian Nasional merupakan langkah yang pernah diterapkan di akhir proses pembelajaran, sebelum akhirnya diterapkan Kurikulum Merdeka yang menghapus Ujian Nasional.
Setidaknya kita mengenal beberapa jenis ujian nasional. Â Tahun 1980-2001 kita mengenal Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) dan Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA), tahun 2002-2004 kita mengenal Ujian Akhir Nasional (UAN), 2005-2020 kita mengenal Ujian Nasional untuk siswa SMP dan SMA sederajat, tahun 2008/2009 siswa SD/MI mengenal Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN). Selanjutnya tahun tahun tahun 2014/2015 diterapkan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK), tahun 2021 hingga sekarang diterapkan Assesmen Nasional.
Simalakama Ujian NasionalÂ
Pelaksanaan Ujian Nasional khususnya pada pendidikan dasar dan menengah, seperti makan buah simalakama. Jika diiterapkan, sekolah, guru maupun siswa merasa resah dan gelisah, tidak direrapkan seperti tidak ada tantangan.Â
Maka Ujian Nasional yang pernah diterapkan perlu dikaji secara serius untuk meminimalkan dampak negatifnya baik untuk sekolah, guru, maupun siswa. Pelaksanaan UN memang membawa dampak positip baik untuk sekolah, guru maupun siswa.
Sisi positip bagi sekolah, sekolah dapat memberikan tantangan kepada para guru di sekolah. Sehingga dapat mempersiapkan segenap strategi agar mata pelajaran yang diampu bisa menghasilkan nilai yang maksimal.Â
Bagi sekolah, tingginya nilai ujian nasional yang diperankan oleh para guru menjadi bagian dari prestis lembaga dan branding sekolah.
Sisi positip bagi guru, guru pemegang mata pelajaran ujian nasional, mempunyai tantangan terkait dengan kualitas kompetensi profesionalnya.Â
Maka guru akan berjuang sekuat tenaga agar proses pembelajaran yang dijalankan dapat dipahami oleh siswanya. Sehingga pada saat pelaksanaan UN, siswanya banyak yang memperoleh hasil yang maksimal.
Bagi guru, apabila tahu siswanya banyak yang memperoleh nilai maksimal; akan merasa bangga sebagai guru. Maka tidak sedikit cerita terdengar, ada guru-guru yang "mentraktir, memberikan hadiah" siswanya yang berhasil memperoleh nilai UN tinggi. Sampai segitunya perjuangan guru.
Bagi siswa, keberhasilan mengerjakan soal-soal UN dengan hasil maksimal juga merasa senang dan bangga. Bahkan, mereka merasa bisa lepas dari tantangan dan "beban berat" yang selama ini dipikul dan bergolak di dalam dirinya.Â
Suasana hati mempunyai tantangan akan mendorong siswa berdisiplin, bertanggungjawab, mandiri dan bekerja keras.
Resah dan Gelisah Jelang Pelaksanaan UNÂ
Ujian nasional dalam prosesnya mampu membuat resah dan gelisah baik oleh sekolah, guru, apalagi siswa. Maka jelang pelaksanaan UN, biasanya diadakan berbagai prosesi agar siswa bisa tenang, tidak takut, dan optimis memperoleh hasil maksimal.Â
Fenomena yang muncul di sekolah-sekolah  antara lain: diadakan kegiatan mujahadahan di sekolah yang dipimpin oleh salah satu guru atau menghadirkan kyai setempat, doa bersama di sekolah, menghadirkan motivator ke sekolah, bahkan ada yang kepala sekolah yang membawa siswa ke makam setempat untuk meminta doa agar diberikan hasil UN yang maksimal. Fenomena terakhir adalah yang paling langka. Mungkin satu-satunya di Indonesia. (Tapi ini sungguh ada).
Fenomena yang muncul di atas, adalah gambaran riil bahwa Ujian Nasional mampu membuat "resah dan gelisah" sekolah, guru maupun siswa. Sehingga melakukan langkah-langkah yang bersifat sipitual demi keberhasilan Ujian Nasional.
Belum lagi tindakan-tindakan yang sudah masuk kategori kriminal juga terjadi terkait dengan pelaksanaan UN. Semua itu mengindikasikan bahwa UN berhasil membuat "resah dan gelisah" pelaksana UN di tingkat sekolah.
UN dan Munculnya Fenomena Baru di SekolahÂ
Di tingkat sekolah, pelaksanaan UN juga memunculkan fenomena baru. Fenomena tersebut lahir sebagai akibat langsung pelaksanaan UN di tingkat sekolah.Â
Fenomena tersebut juga muncul sebagai bukti adanya rasa resah dan gelisah sekolah dalam melaksanakan UN. Fenomena tersebut antara lain:
a) Muncul guru UN dan UN
Dikotomi guru UN dan non UN muncul dalam proses pelaksanaan UN turut mewarnai kondisi sekolah pada saat UN dijalankan. Â Munculnya dikotomi tersebut biasanya dipacu oleh kebijakan sekolah yang cenderung pro guru UN yang selalu diingatkan dan didongkrak pertanggungjawabanya. Sebab nilai UN yang diperoleh siswa adalah ukuran nama baik sekolah.Â
Sehingga pimpinan sekolah selalu mengingatkan dan memberikan kebijakan yang cenderung pro guru UN untuk kelas-kelas akhir (SMA kelas III). Â di masing-masing sekolah. Fenomena ini akhirnya memunculkan fenomena baru lagi yaitu munculnya kasta baru di sekolah
Langkah tersebut biasanya membawa kecenderungan yang agak kuat terkait dengan legacy sosial, seakan-akan guru UN adalah kasta tinggi di sekolah. Belum lagi terkait dengan kesejahteraan, guru UN pasti lebih sejahtera. Sebab selama pelaksanaan tambahan materi ada hitung-hitungan rupiah.Â
Praktik demikian, selain memuncul dikotomi guru juga memunculkan kesan diskriminasi peran guru. Seakan-akan guru UN yang menjadi penentu keberhasilan belajar para siswa. Maka tidak mustahil guru-guru non UN ada yang bersikap a priori dalam menajalankan tugas.
b) Meniadakan mata pelajaran yang tidak di-UN-kan, untuk digunakan guru-guru pengampu mata pelajaran UN.
Langkah ini biasanya dilakukan di semester akhir (genap). Sehingga guru-guru UN mendapat tambahan jam untuk mempersiapkan suksesnya hasil UN bagi siswa-siswinya. Maka, beban mental guru-guru UN terasa berat. Terutama guru-guru negeri, akan menjadi bulan-bulanan kalau sampai nilai UN mapel yang diampu kalah dengan swasta.Â
Oleh sebab itu, biasanya pada akhir tahun semester genap,guna mendongkrak nilai UN para siswanya, mata pelajaran non UN digunakan pembahasan soal-soal UN. Â Â Â
c) Terjadi jalan pintas proses pembelajaran
Kondisi demikian juga mewarnai saat UN diterapkan. Demi suksesnya UN di tingkat sekolah; selain meniadakan jam pelajaran non UN pada semester genap, juga pelaksanaan "dril" dalam bentuk latihan soal-soal dari tahun ke tahun. Sehingga dapat dibayangkan pemandangan proses pembelajarannya adalah latihan soal-soal, dan menghafal kunci jawaban.
Proses berpikir induktif, deduktif guna mengasah sikap inovatif dan kreatif siswa, seakan sudah tidak penting. Kebutuhan mendesak adalah kemampuan siswa menjawab soal-soal Ujian Nasional. Â Sehingga guru dituntut mengkopilasi soal UN dari tahun ke tahun dan mempelajari kunci jawabnya.
Kondisi demikian tentu saja tidak mungkin dilakukan oleh semua sekolah, namun fakta-fakta tersebut juga ikut melengkapi cerita kegelisahan pelaksanaan UN bagi sekolah, guru maupun siswa. Bagi sekolah, langkah tersebut sebagai upaya membawa dan mempertahankan nama baik lembaganya di masyarakat dan secara kedinasan.
Bagaimana Pelaksanaan UN yang Berkeadilan dan Tidak Menegangkan?
Pelaksanaan UN seyogjanya memperhatikan azas keadilan. Azas tersebut harus didasarkan pada kemampuan masing-masing sekolah. Sebab secara factual kondisi masing-masing sekolah, khususnya siswanya tidak sama antara sekolah satu dengan yang lain. Perbedaan sarana, prasarana, jumlah guru, fasilitas pengembangan pendidikan dan pelatihan, dll tentu berpengaruh pada kemampuan sekolah; khususnya siswa.
Selain berkeadilan, pelaksanaan UN juga harus berorientasi pada kondisi psikologis siswa. Dalam hal ini agar pelaksanaan UN tidak menyebabkan siswa merasa gelisah apalagi tertekan. Â Mengapa mereka tegang? Sebab belum siap baik secara mental maupun secara intelektual. Oleh sebab itu, pelaksanaan UN, hendaknya memperhatikan dua hal tersebut. Penulis mengusulkan ada tiga hal yang perlu diperhatikan ketika UN tetap dijalankan.
a) Tidak memaksakan sekolah harus mengikuti UN
Langkah ini untuk menjawab adanya kondisi masing-masing sekolah yang tidak sama baik ketersedian  guru, sarana prasarana, maupun kemampuan siswanya. Dipaksakanya semua sekolah mengikuti UN, merupakan langkah yang tidak memenuhi azas keadilan. Maka berikan kebebasan sekolah untuk memilih UN atau tidak.Â
Bagi sekolah yang mengikuti UN, sebaiknya pemerintah memberikan prioritas yang berbeda. Misalnya kesempatan untuk masuk ke perguruan tinggi negeri, pemberian bea siswa prestasi, dll.
Maka bagi sekolah yang belum mengikuti UN, dipersilakan mempersiapkan diri agar pada saatnya bisa mengikuti UN. Sehingga sekolah mengikuti UN, bukan karena dipaksa dan terpaksa. Â
b) Nilai UN jangan dijadikan syarat kelulusan, namun untuk keberlanjutan pendidikan
Salah satu penyebab siswa merasa gelisah bahkan tertekan adalah dijadikannya nilai UN sebagai penentu kelulusan. Sebaiknya nilai UN hanya dipakai untuk keberlanjutan studi, termasuk untuk siswa jenjang SLTA.
c) Semua Mapel sebaiknya di UN kan
Langkah ini untuk menghapus dikotomi guru UN dan non UN. Semua guru di jenjang akhir akan memperoleh tantangan yang sama. Selain itu juga untuk memenuhi azas keadilan bahwa semua mapel mempunyai andil dalam keberhasilan siswa. Dengan ditetapkanya mapel tertentu yang di UN kan, ada kesan bahwa hanya mapel yang di UN kan yang menjadi penentu keberhasilan siswa.
Tulisan ini lebih bersifat cerita pengalaman saat masih berdinas di sekolah SMA, yang ketepatan juga sebagai guru pengampu mapel UN. Jadi bisa merasakan hiruk pikuk dan beban mental menjadi guru UN.Â
Apakah setuju UN dijalankan? Secara pribadi ya. Intinya di akhir jenjang pendidikan siswa harus diberikan tanggungjawab akademik. Langkah ini sebagai upaya memberikan tantangan, kepedulian terhadap kepentinganya sendiri, melatih tanggungjawab dan kemandirian. Yang penting, UN yang dijalankan tidak dipaksakan bagi semua sekolah dan tidak dijadikan penentu kelulusan.Â
Opsi yang penulis usulkan, hanya bersifat hasil obrolan informal dengan teman-teman sejawat. Pemerintah bisa mencari solusi agar UN yang diditerapkan berpegang pada azas keadilan dan berorientasi pada psikologis siswa. Kalau bisa demikian, Nggak bahaya tah, UN dijalankan lagi? Jawabnya tentu tidak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H