b) Nilai UN jangan dijadikan syarat kelulusan, namun untuk keberlanjutan pendidikan
Salah satu penyebab siswa merasa gelisah bahkan tertekan adalah dijadikannya nilai UN sebagai penentu kelulusan. Sebaiknya nilai UN hanya dipakai untuk keberlanjutan studi, termasuk untuk siswa jenjang SLTA.
c) Semua Mapel sebaiknya di UN kan
Langkah ini untuk menghapus dikotomi guru UN dan non UN. Semua guru di jenjang akhir akan memperoleh tantangan yang sama. Selain itu juga untuk memenuhi azas keadilan bahwa semua mapel mempunyai andil dalam keberhasilan siswa. Dengan ditetapkanya mapel tertentu yang di UN kan, ada kesan bahwa hanya mapel yang di UN kan yang menjadi penentu keberhasilan siswa.
Tulisan ini lebih bersifat cerita pengalaman saat masih berdinas di sekolah SMA, yang ketepatan juga sebagai guru pengampu mapel UN. Jadi bisa merasakan hiruk pikuk dan beban mental menjadi guru UN.Â
Apakah setuju UN dijalankan? Secara pribadi ya. Intinya di akhir jenjang pendidikan siswa harus diberikan tanggungjawab akademik. Langkah ini sebagai upaya memberikan tantangan, kepedulian terhadap kepentinganya sendiri, melatih tanggungjawab dan kemandirian. Yang penting, UN yang dijalankan tidak dipaksakan bagi semua sekolah dan tidak dijadikan penentu kelulusan.Â
Opsi yang penulis usulkan, hanya bersifat hasil obrolan informal dengan teman-teman sejawat. Pemerintah bisa mencari solusi agar UN yang diditerapkan berpegang pada azas keadilan dan berorientasi pada psikologis siswa. Kalau bisa demikian, Nggak bahaya tah, UN dijalankan lagi? Jawabnya tentu tidak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H