Bagi warga Magelang (khususnya kota Magelang), prasasti Mantyasih merupakan "rembulan yang bisa menerangi kegelapan" masa lalunya. Mengapa? Sebab dari prasasti inilah, dapat dikuak dengan lebih jelas tata kehidupan masyarakat Magelang pada Abad X M dan masa-masa sebelumnya, bahkan hari jadi Kota Magelang juga ditetapkan berdasar isi prasasti Mantyasih.
Sebab setelah ditelaah secara "toponim" nama Mantyasih tersebut sekarang bertrasformasi menjadi "Meteseh", yaitu salah satu kelurahan yang berada di wilayah Magelang Utara. Bahkan lokasinya berdekatan langsung dengan bangunan yang melegenda akibat pengkianatan Belanda (Jenderal De Kock) melawan Diponegoro yaitu eks Karesidenan Kedu.
Jejak peninggalan masih ada dan dirawat dengan baik oleh warga Meteseh, bahkan diperhatikan secara khusus oleh pemerintah Kota Magelang. Bukti sejarah ini selalu terawat baik kebersihan maupun pewarisan nilai-nilai hostorisnya. Sebab setiap tahun diadakan peringatan hari jadi Kota Magelang, maka sekaligus pewarisan nilai sejarah prasasti ini terus terjaga bagi generasi berikutnya.
Prasasti Mantyasih lebih berisi tentang aspek-aspek politik yang terjadi pada masa raja Balitung pada tahun 907 M. Walaupun disebut nama suatu desa, namun terkait dengan politik raja tentang desa tersebut. Adapun isi pokok prasasti Mantyasih dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Disebut nama raja Rake Watukara Dyah Balitung yang mngeluarkan prasasti
2. Ditulis angka 829 saka (907 M)
3. Disebut nama desa Mantyasih yang ditetapkan oleh raja Balitung sebagai desa sima (perdikan).
4. Dijelaskan bahwa desa tersebut dipimpin oleh pejabat Patih
5. Disebut nama gunung Susundara (Sundara), dan Sumwing (Sumbing)