2. Struktur Sosial Horizontal
Berdasar bagan tersebut raja memiliki lapisan sosial tertinggi atas dasar keturunan. Lapisan sosial berikutnya adalah rakai/samgat (pejabat tingkat watak). Di bawahnya adalah lapisan sosial rama (pejabat tingkat wanua). Paling bawah adalah lapisan sosial rakyat jelata yang pada umumnya sebagai petani. Lapisan sosial tersebut bersifat tertutup. Sebab dasar lapisan sosialnya berdasar keturunan. Seorang rakai/samgat dapat menempati lapisan teratas apabila berhasil melakukan pemberontakan. Sehingga rakai tersebut menjadi pendiri dinasti (keturunan baru).
Apakah pada masa Sanjaya sudah mengenal nama-nama pejabat tersebut? Bisa saja belum. Sebab nama-nama jabatan tersebut terurai pada prasasti masa Kayuwangi (856-882 M). Yang pasti Sanna adalah raja, Sanjaya juga raja yang menggantikan Sanna. Sebagai raja mereka adalah penguasa tertinggi yang tentu mempunyai para pejabat di bawahnya sampai pada rakyat yang diperintahnya.
Berdasar tradisi yang sering ditemui, nama-nama jabatan juga bisa diwariskan dari generasi pendahulu. Apalagi sistem kerajaan adalah pengaruh yang berasal dari India. Bisa saja nama-nama jabatan juga terpengaruh dari kerajaan di India. Yang pasti kekuasaan tertinggi pada tahun 732 M adalah raja Sanjaya. Siapa saja para pembantu di istana serta para pejabat di bawah raja, belum bisa diungkapkan. Tata birokrasi Mataram kuno sudah nampak lengkap pada abad IX (setidaknya pada masa pemerintahan Kayuwangi). Namun berdasar prasasti Canggal, dapat disimpulkan bahwa sistem kerajaan sudah diterapkan dalam penerapan kekuasaan. Dengan kata lain pada tahun 732 M, Magelang menjadi salah satu wilayah yang berada dalam kekuasaan kerajaan Mataram Kuno masa Sanjaya.Struktur sosial horizontal lebih melihat pada keanekaragaman status, profesi maupun agama yang dianut masyarakat Magelang pada abad VIII M. Pada masyarakat biasa dapat dilihat adanya profesi sebagai petani (sayur, padi,dll), peternak, pedagang, petugas pengairan, penarik pajak, maupun penjual jasa yang ada di masyarakat. Sedangkan petugas keagamaan, kemungkinan dipegang oleh brahmana tingkat desa.
Mengingat pada saat itu dibangun candi Gunung Wukir, maka pasti ada profesi yang berkaitan dengan keberadaan candi. Arsitek candi, pemahat batu, pematung, pembuat relif, termasuk penulis prasasti. Sekaligus sudah tergambar juga peralatan yang digunakan untuk memahat, membuat relif, menulis prasasti. Peralatan tersebut tentu ada orang-orang yang mempunyai keahlian pada bidang-bidang tersebut (profesi). Kondisi demikian akan mendorong terjadinya kompleksitas struktur social yang bersifat horizontal.
Nama pedagang disebut dalam prasasti Ramwi 821 M dengan sebutan "tuha dagan", petugas pengairan/irigasi kusus mengurusi beras disebut dengan "hulu waras". Sedang seorang yang menjadi pengawas irigasi disebut "huler". Mungkin nama tersebut dalam perkembang berikutnya menjadi "ulu-ulu". Pengawas hutan disebut dengan sebutan "tuha alas". Pertanian dikenal ada dua yaitu pertanian sawah dan pertanian kebun. Pandai besi, perajin emas/perak penjelasanya ditemukan pada prasasti masa Kayuwangi abad IX M (Naufal Raffi,2020:218). Bahkan pada prasasti Kwak (878 M) disebutkan alat-alat pertanian, pertukangan dan alat rumah tangga antara lain "kris (mungkin keris), tatah (alat pertukangan), lingis. Penumbuk padi disebut "halu-halu" (mungkin sekarang menjadi 'alu'), rimwas (kapak), landuk (cangkul), "dan" (alat masak), mungkin sekarang 'dandang',dll. Namun dalam prasasti Canggal disebutkan adanya kekayaan yang berupa emas. Tentu hal tersebut juga memunculkan profesi perajin emas. Apa sebutanya terurai pada masa Kayuwangi. Â
Dengan demikian munculnya aneka profesi juga berdampak pada makin kompleksnya struktur social horizontal di masyarakat Magelang pada saat itu. Hanya saja profesi-profesi tersebut baru disebut secara jelas pada prasasti yang dikeluarkan pada masa Kayuwangi. Â Â
Struktur sosial horizontal berdasar pada ras, bisa saja terdiri dari pribumi (warga masyarakat Magelang) dan pendatang dari India maupun Cina. Orang India (pendeta, brahmana) menyebarkan agama (Hindu maupun Budha), sedangkan orang-orang etnis Cina melakukan perdagangan. Kehadiran mereka di Indonesia, tidak mustahil juga sampai di Magelang. Apalagi keberadaan etnis Cina di Magelang jejaknya juga dapat dilihat sampai sekarang.
2. Ekonomi