Idul fitri telah memunculkan banyak berkah bagi masyarakat. Salah satunya adalah pertemuan orang-orang yang berasal dari satu keturunan, terutama pertemuan keluarga inti. Pertemuan ini di masyarakat biasa disebut dengan pertemuan keluarga "bani" atau trah". Pertemuan keluarga "bani atau trah" Â banyak juga yang memanfaatkan momen hari raya idul fitri.
"Ngumpulke balung pisah" (mengumpulkan aggota keluarga yang berasal dari berbagai tempat), itukah ungkapan yang sering kita dengar saat mereka mengimpun sanak saudaranya dalam pertemuan keluarga "bani" atau "trah". Intinya agar semua anggota keluaraga yang sudah menjadi keluarga besar bisa mengenal asal usulnya dan mengenal semua anggota keluarganya.
Hal yang demikian yang penulis lakukan di hari ke empat Idul Fitri tahun ini. Kakak adik yang berjumlah delapan orang bersepakat memulai pertemuan tersebut guna memulai langkah menghimpun semua anggota keluarga yang masih ada dan semua anggota keluarga masing-masing keluarga. Tempat yang disepakati adalah rumah kakak tertua yang tinggal di Sidoarjo.
Selalu Bingung Masuk dan Keluar Jalan Tol
Melengkapi kebahagiaan dalam temu keluarga adalah  menikmati salah jalan baik masuk maupun keluar jalan Tol menuju alamat yang dituju. Itulah asyiknya ketika silaturahmi. Mungkin saja itu menjadi kenangan yang sulit terlupakan. Putar dan puter-puter jalan Tol karena bingung. Ketika petualangan bisa berakhir dengan menemukan jalan yang benar, "plong" rasanya. Ada kebahagiaan yang luar biasa nilainya ketika bisa menemukan alamat yang dituju, setelah berputar-putar dan keluar masuk jalan Tol akibat bingung.
Tiada petulangan yang tidak berakhir. Itulah yang penulis rasakan setelah berkali-kali muter-muter jalan Tol dan kota Sidoarjo akibat bingung dan tidak tahu arah. Akhirnya toh berhenti berpetualang, setelah menemukan tanda-tanda utamanya.
Pertemuan "Trah" Itu
Lumayan asyik bisa bertemu dengan kakak, adik serta keponakan setelah sekian waktu terpisah akibat jarak dan kesibukan masing-masing. Walau baru pertemuan trah yang pertama, namun tidak mengurangi kesan mendalam sesama anggota keluarga. Bersatunya rasa, antar anggota keluarga yang berasal dari berbagai daerah, seakan berada dalam satu atap rumah yang tidak ada pemisahnya. Suasana khas dapat bertemu semua anggota keluarga terasakan.
Suasana demikian yang akhirnya mendorong untuk dirancang pertemuan mendatang bisa dijalani. Esensi pertemuan adalah mengenalkan sosok penurun keluarga yaitu bapak dan ibu (alm) yang telah berjasa mengantarkan putera puterinya menikmati kebahagiaan dengan rizkinya masing-masing. Agar secara personal kedua beliau diketahui, dikenang dan bisa dijadikan panutan oleh penerusnya, maka dirasa perlu adanya pertemuan rutin tiap tahunnya.
Bersyukur, Â itulah kata yang selalu penulis ungkapkan. Betapapun masih diizinkan bersama keluarga inti bisa bertemu dengan keluarga besar beserta anak keturunan bapak dan ibu (alm). Rasanya kurang lengkap kebahagiaan seseorang manakala belum bisa bertemu dalam momen tertentu dengan kakak, adik dan semua anggota keluarganya, apalagi ini masih mpmen idul fitri. Biasanya hanya disatukan kalau ada yang mempunyai hajat mantu.
Pertemuan "trah" itu kemudian menyepakati penulisan buku jejak perjuangan ayah dan ibu almarhum untuk dikenalkan kepada menantu, cucu dan cicit. Pertemuan yang diagendakan rutin dengan bergantian tempatnya, semoga dapat menjadi rajutan silaturahmi antar keluarga inti dan keluarganya dalam rangka menjaga keutuhan keluarga satu keturunan. Selanjutnya akan dilakukan identifikasi semua anggota keluarga, sehingga bisa mempunyai album keluarga trah.
Menuju Madura Melintasi Jembatan Suramadu
Penulis bersama istri, serta anak dan cucu, berangkat dari Magelang menuju Sidoarjo. Jalan tol yang dilalui dari pintu masuk Kartosuro sampai Pintu Tol Warugunung Sidoarjo masih lengang. Sehingga masih bisa memacu kendaraan walau masih tetap memperhatikan aturan kecepatan berkendara di jalan Tol. Â Alhadulillah walaupun harus keluar masuk pintu tol karena bingung, akhirnya bisa menemukan alamat yang dituju. Setelah acara selesai, masing-masing mempunyai agenda sendiri. Kami mengagendakan ke Madura. Keluarga lain ada yang langsung pulang, ada pula yang ke Wonokromo, ada pula yang melanjutkan perjalanan ke Kediri. Â
Menuju Madura, tentu melewati jembatan yang monumental yang menghubungkan Surabaya dan Madura. Yang pasti jembatan Sumadu. Hari raya ke empat, kendaraan yang melintas masih sedikit, sehingga tampak lengang. Sambil menikmati udara laut yang sedang menyapa kami sekeluarga, penulis mencoba mengabadikan jembatan yang megah itu, untuk sekedar mempunyai kenangan dan bukti pernah menginjakkan kaki di bumi perjuangan Trunojoyo tersebut.
Setelah menikmati udara jembatan Suramadu, sekedar berkeliling menikmati udara Kota Bangkalan, sambil melihat-lihat kehidupan ekonomi masyarakat yang ada di sekitar jembatan. Ada yang jualan souvenir khas Madura, tahu khas Madura, serta krupuk yang juga khas Madura. Pemandangan ini menunjukkan bahwa di setiap daerah di wilayah Nusantara tercinta mempunyai kekhususan dalam menghidupkan roda ekonomi keluarga.Â
Usai sudah perjalanan wisata ke Madura, selanjutnya putar balik menuju kampung halaman di Magelang. Perjalanan dari pintu Tol Warugunung Sidoarjo sampai pintu Tol Kartosuro, masih relatif sepi. Namun jelang 17 KM menuju pintu Tol Salatiga terjadi kemacetan yang lumayan panjang. Hampir 1,5 jam kami harus dengan sabar menikmati jalan macet menuju pintul Tol Salatiga. Alhamdulillah semua berakhir.
Pertemuan keluarga "trah" atau "bani" esensinya adalah menghimpun semua anggota keluarga yang berasal dari satu induk keturunan (ayah). Langkah tersebut sebagai upaya untuk mewujudkan rasa hormat kepada orang tua yang sudah sangat berjasa dalam kehidupan kita. Semoga tahun depan masih dapat menjalin silaturahmi dengan keluarga yang terwadai dalam keluarga bani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H