4) Pengalaman Spiritual
Dalam menjalani interaksi vertikal yang bersifat "teosentris" atau ilahiyah, adakalanya seseorang mendapatkan pengalaman spiritual. Biasanya situasi ini bersifat subyektif. Demikian juga dalam menjalani puasa bulan ramadan. Ketika dalam melakukan proses pengasahan jiwa, seseorang mendapat pengalaman spiritual, biasanya upaya mengasah jiwanya lebih cepat dirasakan. Misalnya seseorang berusaha berinfaq tiap hari selama bulan ramadan. Dalam perjalanan berinfaq tersebut ia merasa lebih tenang jiwanya dan merasa lebih dekat dengan Allah SWT dibanding sebelum ia berinfaq rutin tiap hari di bulan ramadan. Maka pengalaman spiritual tersebut cenderung berpengaruh pada perilaku berdermanya di luar bulan ramadan.
5) Pembiasaan Hidup Islami
Pembiasaan hidup islami, juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas puasa seseorang. Kebiasaan berzikir, puasa sunah, tadarus al qur'an, menjalankan salat sunat rawatif, salat dhuha, infaq, sedekah, dll merupakan penopang yang dapat lebih mudah mendapat hikmah puasa yang dijalani seseorang dibanding orang yang belum mempunyai pembiasaan hidup yang islami. Maka orang yang sudah mempunyai pembiasaan hidup islami, upaya mengasah jiwanya relatif lebih mudah dan terarah. Ibarat pisau, tinggal menajamkan ulang secara terus menerus.
Puasa adalah bulan pelatihan, maka hasil pelaksanaan hasil pelatihannya adalah 11 bulan setelah ramadan. Orang yang berhasil puasanya adalah orang yang mampu terus menerus meningkatkan kualitas ketaqwaaan. Setidaknya bisa mempertahankan amalan yang sudah dilakukan selama bulan ramadan dapat dipertahankan setelah ramadan usai. Oleh sebab itu tidak berlebihan apabila dijelaskan ada korelasi positif perolehan puasa ramadan dengan perilaku yang ditampilkan pada 11 bulan pasca ramadan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H