Perjuangan Pangeran Diponegoro melawan pemerintah Belanda meninggalkan kisah panjang dalam perjalanan sejarah bangsa.Â
Kisah heroik yang ditampilkan dalam periode tahun 1825-1830 tidak hanya memancarkan jiwa kepahlawanan serta nilai-nilai perjuangan, namun juga menginspirasi masayarakat mengembangkan kearifan lokal dalam menghormati kisah heroik tersebut. Secara khusus masyarakat Desa Menoreh Kecamatan Salaman Kabupaten Magelang yang pernah menjadi salah satu tempat gerilya.
Setidaknya ada tiga kearifan lokal yang berkembang di masyarakat, Â dibalik kisah heroik Pangeran Diponegoro.
Pertama, menghormati jasa Pangeran Diponegoro.
Upaya mengormati dan mengenang jasa Pangeran Diponegoro melalui haul (pembacaan doa tahlil) pada hari yang dianggap kelahirannnya. Haul tersebut dilaksanakan di Masjid Langgar Agung.
Masjid ini merupakan salah satu fakta sejarah, yang menjelaskan bahwa Pangeran Diponegoro pernah melaksanakan shalat di masjid tersebut pada saat menghadapi Belanda. Masjid tersebut setiap tahun ramai dikunjungi peserta (jamaah) haul dari masyarakat setempat dan daerah sekitarnya.Â
Masjid ini terletak di Dusun Alon-Alon Desa Menoreh Kecamatan Salaman Kabupaten Magelang. Tidak jauh dari masjid tersebut terdapat makam Kyai Nur Muhammad yang menjadi salah satu guru spiritual Pangeran Diponegoro.Â
Makam ini menjadi wisata relegi bagi masyarakat yang mempercayainya. Jamaah yang datang tidak hanya dari wilayah Magelang, namun berasal dari berbagai daerah.
Melalui kearifan lokal masyarakat dengan pendekatan keagamaan, sosial dan budaya kisah heroik Pangeran Diponegoro diwariskan sampai sekarang.
Kedua, melestarikan budaya dan simbol-simbol  kebesaran Pangeran Diponegoro.
Upaya ini dilakukan dengan merawat budaya-budaya yang merupakan peninggalan dan merawat bahkan "menyakralkan" simbol-simbol kebesaran Pangeran Diponegoro.