Guru dan peradaban seperti perdebatan panjang tentang pertanyaan ayam dan telur dulu mana. Perdebatan antara ayam atau telur akhirnya melahirkan jawaban ketidakjelasan hingga sekarang.
Secara sederhana dapat diketahui bahwa peradaban berasal dari kata adab yang berarti tata krama, etika, sopan santun. Maka peradaban lebih menekankan pada sikap dan perilaku yang berdasar pada tata nilai.Â
Konsep ini kemudian mengalami perkembangan ketika  manusia melakukan upaya memenuhi kebutuhan hidupnya baik primer, sekunder maupun tertier. Maka muncullah alat atau teknologi yang diciptakan.Â
Penemuan alat atau teknologi tersebut tentu didasarkan pada ilmu dan pengetahuan yang dimiliki. Upaya tersebut akhirnya melahirkan suatu masyarakat yang mempunyai sistem sosial, budaya, politik maupun agama sebagai perwujudan adabnya.
Kemudian bangunan pisik dalam berbagai bentuknya merupakan hasil penerapan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Maka ilmu pengetahuan membutuhkan tata nilai (frame of value) agar tidak membahayakan bagi kehidupan umat.
Dengan kata lain, ilmu pengetahuan yang dimiliki suatu masyarakat, akan berpengaruh pada peradaban yang dimiliki. Maka, tinggi rendahnya ilmu pengetahun suatu masyarakat, akan menentukan tinggi rendahnya peradaban yang dimiliki.Â
Memperbincangkan konsep peradaban tersebut, sangat relevan dengan eksistensi guru baik dalam sudut pandang penegakkan moral maupun pengembangan ilmu pengetahuan. Maka, guru dan peradaban seperti dua sisi mata uang. Intinya membicarakan guru, hakikinya juga membicarakan sosok guru sebagai pembangun peradaban.Â
Argumentasi kehadiran guru mendahului peradaban, kiranya juga dapat dipahami. Sebab melalui kiprahnya yang kemudian diikuti oleh masyarakat; maka peradaban di masyarakat terbangun. Kelahiran peradaban lebih mendahului guru, juga bisa dipahami. Sebab peradaban suatu masyarakat sudah ada jauh sebelum guru ada. Â
Maka membicarakan guru dan peradaban setidaknya membicarakan keberadaan guru dalam kisaran peran guru sebagai sumber ilmu dan guru sebagai simbol penegakkan moral.
Sebagai sumber ilmu, selain guru mempunyai kewajiban melakukan transformasi iptek kepada peserta didik, guru juga dituntut melakukan eksplorasi berbagai sumber ilmu agar selalu bisa meng"update" pikirannya yang sesuai dengan tantangan yang dihadapi. Sebab tanpa langkah ini, guru akan kehilangan kepercayaannya sebagai pemilik profesi.Â
Fakta yang mengemuka di era sekarang, guru tidak lagi sebagai satu-satunya sumber ilmu pengetahuan. Maka idealnya guru dituntut terus membuka wawasannya. Kalau perlu, makin "gila" membaca dan menulis (guru literat). Sebab kegilaan guru pada dua hal ini akan membawa guru dalam kehidupan profesi yang basah dengan karya-karya profesi. Maka ruh profesi guru akan bisa  hidup sepanjang waktu.