Maraknya tindakan kekerasan di Indonesia akhir-akhir ini merupakan masalah bangsa yang cukup mengkhawatirkan. Ini menunjukkan bahwa tindakan kekerasan telah mendarah-daging atau membudaya dalam masyarakat Indonesia. Seolah-olah semua persoalan bisa diselesaikan dengan jalan kekerasan, sedikit-sedikit main pukul, main hakim sendiri, kroyokan, dan tindakan “sok jagoan” lainnya. Menurut Michael Crosby, lingkaran kekerasan merupakan buah dari setiap paksaan yang mengakibatkan luka. Paksaan dan luka itu bisa bersifat fisik ataupun psikis, personal ataupun komunal, dan psikologis ataupun sosiologis.
Seiring usia Indonesia yang semakin senja ini budaya kekerasan justru semakin menggurita dalam berbagai aspek kehidupan bangsa. Mulai dari aspek social, politik, ekonomi, budaya, pendidikan, hingga agama sekalipun. Bahkan seringkali beredar info terkait berbagai kasus kekerasan dalam dunia pendidikan, terutama di sekolah yang semi-militer. Ironisnya lagi akhir-akhir ini banyak sekali kasus-kasus kekerasan yang mengatasnamakan (berkedok) agama.
Tiga kata saja, tragis dan ironis. Memalukan sekali di negeri yang katanya cinta damai ini seakan kekerasan telah menjadi infotainment yang hampir setiap hari disuguhkan oleh media dalam berbagai kemasan menarik. Kemasan-nya yang menarik itu nampaknya justru semakin mendorong masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan baru dalam bentuk yang lebih inovatif. Budaya kekerasan itu kini telah menjelma dalam berbagai bentuk, mulai dari tawuran antar mahasiswa, tawuran antar supporter sepak bola, bentrok antar warga kampung, hingga tindakan terorisme yang sering berkedok agama. Bahkan belakangan ini tindakan kekerasan mulai booming dilakukan oleh seorang pemuda terhadap kekasihnya.
Kasus-kasus yang telah disebutkan di atas belum-lah cukup untuk menggambarkan betapa budaya kekerasan telah menjerat sendi-sendi kehidupan bangsa ini. Jika kita renungi ternyata semua itu berakar pada masalah moral dan karakter bangsa Indonesia. Kita tahu bangsa ini dahulu dikenal sebagai bangsa yang santun, ramah, dan cinta damai. Namun nampaknya nilai-nilai moral itu kini telah larut dan semakin menghilang tergerus oleh arus globalisasi.
Bangsa yang demokratis semestinya lebih mengedepankan pendekatan damai daripada menggunakan cara-cara kekerasan yang sebenarnya bisa dibilang cara kuno bangsa bar-bar. Kekerasan tidak akan pernah menyelesaikan persoalan, melainkan justru akan menambah masalah baru dan menyisakan dendam. Budaya kekerasan merupakan noda demokrasi dan sebuah aib yang bisa menurunkan martabat bangsa Indonesia itu sendiri. Seperti kata Romo YB. Mangunwijaya, bahwa kekerasan sebenarnya merupakan sebentuk kebodohan. Pada dasarnya manusia –dengan demikian juga masyaraat dan bangsa yang cerdas- dengan sendirinya tidak suka kekerasan. Kekerasan merupakan instingtif hewani, utamanya binatang buas, dan bukan-lah sifat dasar manusia, masyarakat, dan bangsa yang bermartabat.
Pada akhirnya tulisan ini boleh-lah berakhir sampai di sini. Namun semangat perdamaian itu semoga terus berkobar dalam setiap jiwa kita. Paling tidak minimal mari kita pegang teguh semangat “Anti Budaya Kekerasan” dan kobarkan semangat “Cinta Damai” dimanapun kita berada. Dalam hal ini bukan berarti kekerasan itu dilarang sepenuhnya. Tentu ada tempatnya sendiri, dan menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Melalui olahraga beladiri misalnya. Dalam olahraga beladiri tentu diperbolehkan menggunakan kekerasan, walaupun tetap saja ada batasannya. Maka dari itu saran penulis bagi bangsa Indonesia yang masih “cinta budaya kekerasan”, akan lebih baik jika disalurkan melalui komunitas-komunitas olahraga ataupun beladiri. Di samping membuat tubuh sehat dan bugar, tentu akan lebih dihargai daripada bertindak meresahkan orang lain dan “sok jadi jagoan”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H