Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) maupun kurikulum Sekolah Berstandar Internasional (SBI) berdampak pada terciptanya kasta-kasta dalam dunia pendidikan. Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listiyarti mengatakan, hal itu terlihat dalam perlakuan terhadap guru, murid, orangtua/wali, hingga sarana dan prasarana pendidikan. (Kompas.com)
Bila kita amati memang nampak adanya perbedaan yang amat mencolok antara sekolah yang biasa-biasa saja dengan RSBI dan SBI. Jauh sekali bedanya memang. Baik dari segi fisik gedungnya, guru-gurunya, sarana prasarana yang ada, hingga bahkan dari penampilan para siswanya. Sekolah kategori RSBI dan SBI memiliki gedung sekolah yang bagus, dilengkapi sarana prasarana multimedia, laboraturium pendukung, meja dan bangku berkelas, ruangan ber-AC, serta fasilitas serba “wah” lainnya. Biaya yang mesti dikeluarkan orang tua agar putra-putri kebanggaannya bisa diterima di sekolah RSBI/SBI tentu lah tidak sedikit. Pantas saja kebanyakan yang sekolah di sana merupakan anak-anak orang kaya. Bagi anak dari keluarga kurang mampu, hanya bisa gigit jari untuk bisa diterima bersekolah di RSBI/SBI.
Ironis memang. Entah kenapa masih saja ada “pengkotak-kotakan” dalam sistem pendidikan di negara kita ini? Pengkotak-kotakan di dunia pendidikan kita “yang dalam lingkup sederhana” pun masih kerap kali terjadi tanpa disadari. Misalkan saja sistem ranking, yang justru seolah menimbulkan kasta-kasta di sekolah. Antara kasta siswa cerdas, siswa jenius, siswa bodoh, siswa lemot, dan seterusnya. Tidak jarang sistem ranking juga menimbulkan rasa sombong dan angkuh pada siswa yang juara (walau presentasinya sedikit). Belum lagi dampak “merasa didiskriminasi” yang dialami para siswa dengan kemampuan rata-rata ke bawah.
Di sisi lain, pada sejumlah sekolah swasta masih banyak pula yang menerapkan pengkelasan kepada siswanya seperti halnya “tiket kereta api”. Kelas berlabel III (ekonomi) diperuntukan bagi siswa golongan miskin. Kelas berlabel II (bisnis) diperuntukan bagi siswa golongan menengah. Kelas berlabel I (eksekutif) diperuntukan bagi siswa golongan anak pengusaha/pejabat. Fasilitas yang disediakan pun bisa ditebak, siapa yang bayar lebih mahal maka merekalah yang diutamakan dan terlayani dengan baik. Saya terkadang bingung, ini sekolah tempat belajar apa kereta api ya? Hehehe… Tidak terbayangkan manakala siswa kelas berlabel I, II dan III bertemu. Inikah yang namanya kesetaraan dalam pendidikan?
Pendidikan kita memang semakin maju dan bermutu. Kita patut bangga, para siswanya mampu menjadi juara-juara dalam kompetisi tingkat internasional (dunia). Dalam konteks nasional pun banyak siswa-siswi bangsa ini yang telah mampu menunjukkan kegemilangannya di berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun ketika kita telisik lebih lanjut, ternyata banyak diantara mereka yang latar belakang keluarganya kurang mampu. Sehingga mereka hanya mampu bersekolah di sekolah dengan standar sesuai kemampuan ekonomi orang tuanya. Padahal secara kemampuan akademik maupun non-akademik mereka tidak kalah dengan siswa-siswi dari sekolah RSBI/SBI. Terbukti, banyak diantara mereka (siswa kurang mampu) yang kegemilangan prestasinya mampu menandingi siswa-siswi dari sekolah-sekolah elit.
Lalu, apakah akan terus dibiarkan “pengkotak-kotakan” yang masih saja kerap terjadi dalam pendidikan kita ini? Apakah masih akan terus dibangun sekolah-sekolah elit dengan fasilitas serba “wah” dan biaya selangit di tengah-tengah kota, sementara di wilayah pelosok/pedalaman sana masih banyak sahabat-sahabat kita (putra-putri bangsa ini) yang kondisi sekolahnya memprihatinkan? Sudah saatnya pemerataan pendidikan bermutu di negeri ini segera diwujudkan, bagi seluruh rakyat Indonesia tentunya. Namun juga mesti menjunjung tingga rasa keadilan dan kesetaraan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H