“Kekerasan dan Kekejaman merupakan sesuatu yang potensial dalam manusia normal.” (Anthony Storr)
Ungkapan Anthony Storr tersebut menunjukkan bahwa kekerasan dan kekejaman sudah merupakan bagian yang tak terelakkan lagi dalam kehidupan kita. Dengan kata lain sudah menjadi semacam hukum alam. Karena pada dasarnya setiap manusia berpotensi melakukan tindakan tersebut. Hanya saja bagaimana agar tindakan kekerasan yang ada di sekitar kita bisa diminimalisir. Walaupun tidak mungkin dihilangkan sepenuhnya.
Tindakan yang masuk kategori kekerasan itu sendiri banyak ragam dan bentuknya. Salah satu bentuk yang paling ekstrim yaitu tindakan terorisme yang akhir-akhir ini kembali meresahkan masyarakat Indonesia. Meski isu dan tindakan terorisme sudah lama menjadi wacana tingkat global (dunia) namun masalah ini tidak ada habis-habisnya. Karena tindakan terorisme berkaitan dengan pikiran dan pola tingkah manusia, termasuk di dalamnya menyangkut ideology seseorang.
Xenophon (431-350 SM) dalam bukunya tentang terorisme, mengartikannya sebagai “perang psikologis” untuk menaklukan musuh. Seperti halnya tindakan terror bom yang belakangan ini marak terjadi di tanah air. Yang mana dilakukan oleh sekelompok orang dengan ideology radikalisme atau garis keras. Tindakan terror bom yang terjadi di tanah air belakangan ini terbukti telah berhasil menimbulkan kegelisahan, rasa tidak aman (was-was), rasa saling curiga, dan gangguan psikologis lainnya di kehidupan masyarakat kita. Ironisnya mereka para pelaku terror kerapkali memakai Islam sebagai kedok atas tindakannya itu.
Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin (kasih sayang bagi semua penghuni alam). Islam tidak pernah mengajarkan tindakan terorisme. Bahkan Islam melarang kita agar tidak menyakiti orang lain dan tidak saling bertikai. Dalam memandang terorisme Islam jelas tidak membenarkannya. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Kami kembali dari jihad kecil, akan kembali kepada jihad yang lebih besar. Hadits ini menunjukkan bahwa pada masa permulaan Islam, Nabi dan para sahabat kerapkali berjihad. Namun pada saat itu jihad lebih dipahami sebagai tindakan dakwah. Bukan menghancurkan dan merugikan pihak lain secara membabi-buta.
Dalam hal ini kita bisa melihat bahwa tindakan para pelaku terror bom itu kemungkinan karena pengaruh ideology radikal. Kebanyakan para pelaku terror bom tersebut menjadikan satu persoalan sebagai sebuah kasus general yang harus diperangi bersama. Misalnya karena membenci negara Amerika dan kroninya, lalu mereka membenci semua orang Amerika dan bahkan umat agama tertentu. Ini tentu pemikiran yang perlu diluruskan, karena banyak pula orang Amerika dan umat non-muslim yang menghormati agama Islam dan cinta kebaikan. Bukankah sesungguhnya Islam telah mengajarkan kita untuk hidup rukun damai, saling menghormati dan menebarkan cinta kasih kepada sesama?
Pada akhirnya untuk memerangi terorisme memang dibutuhkan upaya yang komprehensif. Paling tidak dimulai dengan memerangi ideology radikalisme yang berkembang saat ini. Kepada para ustad/dai/ulama/kyai sebaiknya turut aktif membantu membenahi konsep jihad yang dibenarkan dalam Islam. Yaitu “jihad” kepada segala bentuk kemiskinan, kelaparan, pengangguran, rasisme, diskriminasi, eksploitasi, wabah penyakit, korupsi, dan seterusnya. Dalam artian turut memperjuangkan hal-hal yang berhubungan dengan kemanusiaan secara universal. Islam adalah agama yang cinta DAMAI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H