Menarik sekali menyaksikan pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam peringatan HUT ke-65 Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 16 Agustus 2010 yang lalu. Pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan Sidang Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah itu tampak disambut dengan tepuk tangan yang cukup meriah. Secara garis besar pidato Pak Beye menekankan pada agenda bangsa Indonesia memasuki reformasi kedua atau yang terkenal dengan sebutan “Reformasi Gelombang Kedua”, yang mana memiliki karakter tantangan lebih intrinsic. Tantangan untuk merdeka tidak lagi dengan perjuangan fisik, tetapi terhadap korupsi, diskriminasi, tindakan anarki, ekstremisme, dan juga terorisme. Pak Beye juga menyebutkan visi pembangunan Indonesia ke depan akan berdasarkan pada tiga pilar utama, yaitu kesejahteraan (prosperity), demokrasi dan keadilan.
Isi pidato kenegaran Pak Beye itu memang cukup menarik. Namun akan lebih luar biasa lagi jika semua itu benar-benar dapat terealisasikan dengan baik dan dapat dirasakan dampaknya oleh seluruh rakyat Indonesia. Dan bukan sekedar wacana atau janji-janji semata, karena rakyat Indonesia sudah muak dengan janji-janji hampa. Tanpa mengurangi rasa hormat akan segala upaya yang telah dilakukan oleh Pak Beye selama ini, jujur aku sebagai warga Negara biasa agak kecewa. Karena dalam pidato kenegaraan Pak Beye pada tanggal 16 Agustus yang lalu (maaf) masih belum mampu menjawab keresahan masyarakat atau rakyat Indonesia selama ini, khususnya “wong cilik”. Pidato kenegaraan Pak Beye tahun ini masih melewatkan sejumlah isu penting dan polemic yang belakangan terjadi di tanah air.
Aku sebagai rakyat Indonesia biasa sangat menghargai apa yang telah diupayakan Pemerintah khususnya Pak Beye dan kabinetnya untuk rakyat Indonesia selama ini. Tentu tidak mudah memimpin negeri yang sedang belajar demokrasi ini. Namun Pak Beye juga harus tahu jika “wong cilik” belumlah merdeka. Memang diakui Pemerintah telah menjalankan berbagai program untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, namun banyak yang belum mencapai sasaran terhadap para “wong cilik”. Di balik kemeriahan peringatan HUT RI ke-65 pada tanggal 17 Agustus lalu, ternyata masih begitu banyak petani yang menangis karena gagal panen tahun ini, masih begitu banyak anak-anak miskin yang belum bisa menikmati bangku sekolah. Aku sering kali menyaksikan betapa berat penderitaan para “wong cilik” di negeri yang kaya akan sumber daya alamnya ini.
Bisa dibilang para “wong cilik” belumlah merdeka, Pak. Namun terkadang aku juga bingung, mengapa pemerintah justru berencana menaikkan tunjangan profesi guru dan gaji pegawai negeri sipil (PNS) tahun depan (Kompas, Rabu 18 Agustus 2010). Padahal di balik semua itu kesejahteraan “wong cilik” masih sangat memprihatinkan. Untuk makan sehari-hari saja mereka terkadang harus rela berjualan koran, mengemis di jalanan, memulung barang-barang bekas, jadi kuli, dsb. Bahkan ada pula yang terkadang harus makan nasi aking demi bertahan hidup, karena tidak mampu membeli beras dan bahan makanan lainnya. Aku juga sering melihat ketika nenek-nenek yang sudah begitu tua renta tapi masih saja harus bekerja keras demi sesuap nasi. Pak Beye yang saya hormati, kapankah “wong cilik” bisa benar-benar merasakan nikmatnya kemerdekaan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H