Kebijakan narkotika di Indonesia yang di payungi UU No. 35/2009 sangatltidak adil dan tidak berprikemanusiaan. Hanya karena memiliki dan menggunakan tanaman ganja untuk penggunaan pribadi, walaupun dalam jumlah yang sedikit, seorang anak bangsa bisa dipenjara selama bertahun-tahun. Akibatnya, banyak anak-anak muda yang hancur masa depannya karena dipenjara. Akibat hukum yang memenjarakan pengguna ganja, banyak mahasiwa yang putus kuliah, atau karyawan yang kehilangan pekerja, dll. Orang-orang dewasa produktif yang mengkonsumsi ganja atas keinginannya sendiri dan tidak merugikan orang lain diperlakukan sama seperti pelaku kriminal, sama seperti perampok, pemerkosa dan koruptor.
UU No. 35/2009 dan aturan turunannya tidak pernah menyelesaikan permasalahan narkotika di Indonesia. Banyak pasal-pasal kampret yang menjebak orang yang tertangkap memiliki atau mengkonsumsi ganja, dan tidak adanya perbedaan yang jelas antara pengguna atau pengedar. Sekarang, sekitar 70% tahanan di lapas adalah pengguna narkotika dan yang paling banyak adalah pengguna ganja. Menurut UU narkotika, ganja masuk kedalam golongan 1 narkotika yang artinya tidak boleh dimanfatkan untuk pengobatan karena dianggap berbahaya dan sangat adiktif. Mungkin rehabilitasi pecandu narkotika yang tertuang dalam PP No. 25/2011 baik untuk pengguna narkotika seperti heroin, tetapi tidak untuk pengguna ganja, sebab walaupun ganja dikatakan berbahaya dalam UU, faktanya ganja tidak adiktif seperti opiat dan produk turunannya. Ganja tidak mematikan, ganja tidak mengakibatkan kerugian fisik dan psikis, ganja berbeda secara farmakologi dengan turunan opiat dan jenis narkotika lainnya. UU No. 35/2009 tidak membedakan antara ganja (soft drug) dan heroin (hard drugs). Ganja memiliki manfaat medis untuk mengobati kanker, insomnia, PTSD, gangguan kandung kemih, epilepsi, meningkatkan kualitas hidup ODHA, dll.
Indonesia belum pernah melakukan penelitian mengenai pemanfaatan tanaman ganja. Pemerintah melalui BNN mengatakan bahwa melakukan penelitian untuk narkotika golongan 1 itu sulit, banyak hal yang harus di perhatikan. Sebenarnya bukannya sulit, tapi Indonesia takut melawan Konvensi Tunggal PBB 1961, yaitu sebuah perjanjian internasional yang melarang pemanfaatan tanaman ganja untuk pengobatan sekaligus memenjarakan penggunanya. UN Single Convention 1961 tidak memiliki dasar ilmiah ketika menetapkan peraturan yang melarang penggunaan tanaman ganja. Tetapi sekarang ini banyak negara-negara di dunia yang memperdebatkan isi perjanjian internasional tersebut dan bahkan, tidak mau mematuhinya!
Uruguay, sebuah negara kecil di Amerika Latin telah dengan secara sah melegalkan ganja. Sebelumnya negara bagian Amerika Serikat, Colorado dan Washington pada bulan November 2011 juga telah berhasil melegalkan penggunaan ganja untuk orang dewasa berusia 21 tahun keatas.
Legalisasi ganja akan merebut peredaran ganja yang selama ini dikuasai oleh bandar narkoba di pasar gelap ke tangan pemerintah. Jika ganja dilegalkan, negara bisa mengambil keuntungan dari pajak dan mengatur peredarannya. Rakyat Indonesia akan diuntungkan dengan adanya cara pengobatan dengan menggunakan ganja sebagai bahan baku obat-obatan herbal yang berkhasiat nyata.
Penulis mewakili suara dari jutaan masyarakat pengguna ganja di Indonesia, baik yang ada di luar maupun yang tengah berada di dalam penjara, yang sangat mengharapkan pemimpin yang kuat dan berani membela rakyatnya dari tekanan kebijakan narkotika PBB. Kami menginginkan pemimpin baru yang mampu melindungi rakyatnya dari tekanan kekuatan asing yang tidak ingin Indonesia berjaya dalam mengelola salah satu asetnya, yaitu tanaman ganja yang berkualitas tinggi dari Aceh dan dari wilayah lain di Indonesia.
Note: Untuk mengetahui fakta tentang manfaat tanaman ganja dan kebohongan pelarangan ganja, silahkan cari di Google atau baca di www.indoganja.com
Twitter: @indoganja
Facebook: indoganja
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H