Hari Waisak Agama Buddha memang sudah lewat, tetapi pembahasannya tentu tidak pernah terbatas waktu. Pada kesempatan ini, saya ingin sekali membahas (dan mencoba meluruskan) tentang anggapan-anggapan seputar agama Buddha yang sering saya dengar di kehidupan sehari-hari. Hari Waisak kemarin mengingatkan saya mengenai fenomena ini sehingga akhirnya terlintas di benak saya untuk menjadikannya bahan tulisan kali ini. Mayoritas anggapan ini berasal dari mereka yang Nonbuddhis, meskipun ternyata masih ada juga mereka yang mengaku Buddhis namun belum sepenuhnya paham bagaimana memahami dan menanggapi stereotipe-stereotipe agamanya yang dilontarkan oleh Nonbuddhis tersebut.
Kebetulan juga saya memang beragama Buddha sehingga saya merasa memiliki 'kepercayaan diri' untuk membuat tulisan ini. Sejatinya, saya bukanlah orang yang suka menulis hal-hal yang berbau agama, apalagi jika membagikannya untuk mereka yang berbeda keyakinan. Saya selalu berpikir bahwa menyinggung agama merupakan garis merah yang terlarang untuk dilangkahi karena seringnya masalah ini menjadi awal mula munculnya konflik-konflik; apalagi tayangan-tayangan di banyak media semakin membuktikan pikiran saya itu. Tetapi kali ini, kebetulan sedang dalam masa Waisak sehingga saya merasa ada 'momen' tepat untuk menyampaikan apa yang menjadi buah pikir saya tentang hal itu. Saya yakin pembaca kompasiana adalah pembaca terdidik dan yang terbuka pikirannya sehingga (seharusnya) memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Saya tidak berharap tulisan saya ini mendapat label "pilihan" apalagi "artikel utama" hanya demi popularitas semata, tetapi jika pelabelan itu bisa membuat tulisan ini dibaca banyak orang dan berhasil memberi pengertian yang benar, maka saya akan sangat berterima kasih.
Berikut ini sejumlah stereotipe/anggapan yang sering disematkan untuk agama Buddha berdasarkan apa yang sering saya dengar:
1. Agama Buddha tidak mengenal Tuhan.
Ini adalah stereotipe yang utama dan yang paling sering saya dengar. Saya tidak tahu persisnya bagaimana asal mula anggapan ini bisa sampai tersematkan untuk agama Buddha. Saya sendiri bukan seorang sejarawan sehingga saya bisa saja salah, tetapi dalam pemahaman saya anggapan ini tampaknya muncul karena melihat atau mendengar bahwa seorang Buddhis lebih menekankan untuk mengandalkan kekuatan sendiri dalam berusaha untuk segala sesuatu dan tidak mengandalkan kekuatan luar/lain (yang dalam agama lain umumnya disebut "Tuhan"). Hal ini memang benar (bahwa seorang Buddhis tidak berdoa untuk memohon pada "Tuhan"), tetapi mengapa Buddhisme memiliki konsep seperti itu?
Agar dapat lebih memahaminya, saya harus membahas sekilas bagaimana sistem kepercayaan dalam agama Buddha itu. Agama Buddha percaya bahwa alam kehidupan terdiri atas 31 alam atau tingkatan kehidupan (dalam Buddhisme ke-31 alam ini disebut sebagai samsara). Hal ini berbeda dari agama-agama lain, yang umumnya 'hanya' mengenal tiga alam (surga, neraka, dan bumi/manusia ini sendiri). 31 alam tersebut tersusun secara hierarkis, mulai dari tingkat terendah (neraka, level 1) sampai yang tertinggi ('surga'). Alam manusia sendiri dalam sistem tingkatan ini berada di tingkat/level 4; level 3 yaitu alam para binatang, sedangkan level 2 yaitu alam hantu dan 'iblis'. Tingkat 5 sampai 31 merupakan semua alam lain yang tingkatnya lebih tinggi dari alam manusia. Semua tingkatan ini memiliki sebutan/nama masing-masing dalam bahasa Sanskritnya, tetapi mudahnya bisa kita sederhanakan saja semua tingkatan ini sebagai alam 'surga'. Semakin tinggi tingkatnya, makhluk-makhluk yang menghuninya semakin 'mulia' dan memiliki kekuatan supranatural yang lebih kuat serta beragam. Di dalam tripitaka sendiri, ada penjelasan karakteristik-karakteristik supranatural makhluk-makhluk yang menghuni untuk setiap alam tersebut. Alam-alam inilah yang dalam keyakinan Buddhis bisa disebut sebagai alamnya "Tuhan", alam yang makhluk-makhluknya memiliki kekuatan tertentu (sesuai tingkatnya) untuk melakukan berbagai hal adibiasa; salah satunya yaitu 'mengabulkan' permohonan manusia yang berdoa. (Nanti akan saya bahas kembali maksud 'mengabulkan' disini)
Yang juga berbeda dalam Buddhisme, semua makhluk, apapun tingkatannya, tidaklah sempurna. Mengapa? Tujuan terakhir dalam agama Buddha yaitu untuk mengakhiri segala bentuk penderitaan dengan cara menembusi keadaan yang disebut sebagai Nirwana/Nirvana (Sanskrit: Nibbana). Ini bukanlah alam, tetapi adalah keadaan yang tidak dapat dijelaskan dengan bahasa manusia karena di luar nalar dan pemahaman kita sebagai makhluk tingkat 4 biasa dengan kemampuan pikiran terbatas, namun pada intinya Nirwana ini bisa dikatakan yaitu sebuah keadaan padamnya segala nafsu dan ketidaktahuan, yang menjadi akar sebab manusia (dan semua makhluk di semua tingkatan alam lain) terus terlahir ulang di alam yang bersesuaian dengan kondisi batinnya saat telah meninggal. Semakin sedikit sisa nafsu dan ketidaktahuan yang belum diatasi, semakin tinggi tingkat/level alam tempat dia akan ditumimbal-lahirkan kembali. Secara umum, semua makhluk dalam lingkaran samsara bisa berputar kemana saja, sesuai amal perbuatan dan tingkah lakunya semasa menjalani kehidupannya di alam sebelumnya. Manusia yang berbuat baik bisa terlahir kembali di alam 'surga' saat sudah meninggal nanti. "Tuhan" yang lengah dan terlena di alam 'surga' saat telah meninggal nanti bisa saja jatuh kembali di alam manusia atau bahkan alam yang lebih rendah.
(Ada sejumlah pengecualian: beberapa kondisi dan alam tertentu yang jika sudah dicapai akan menjadi checkpoint dan tidak akan kembali lagi ke alam yang di bawahnya. Saya tidak akan membahas detil untuk konsep-konsep teologi Buddhisme semacam ini karena akan menjadi terlalu panjang dan keluar dari tujuan penulisan tulisan ini. Saya menyarankan pembaca untuk mencari dan membaca sumber-sumber atau tulisan lain untuk mendapat pemahaman atau pengetahuan lebih lanjut)
Hal ini yang berbeda dari konsep "Tuhan" dalam agama lain, yang biasanya dianggap sebagai makhluk tertinggi yang mahaesa dan mahakuasa. "Tuhan-tuhan" dalam Buddhisme dilihat sebagai sosok yang lebih tinggi dalam hal kemuliaan dan kekuatannya, namun tetap bukanlah yang 100% sempurna. Mereka juga masih bisa diliputi sejumlah noda batin lain yang juga bisa dialami manusia di alam kita ini, meskipun dengan intensitas atau kekentalan yang lebih ringan atau juga berbeda jenis nodanya.
Ada satu konsep lain yang juga menjadi dasar/fundamental Buddhisme: karma. Anda mungkin sudah pernah (atau bahkan sering) mendengar sebutan itu. Karma menurut pengertian paling sederhana yaitu sama dengan niat. Adanya niat, apapun itu, menjadikan kita membuat adanya karma. Niat buruk berarti menciptakan karma buruk sedangkan niat baik berarti menciptakan karma baik. Karma-karma ini akan kelak menghasilkan buahnya yang bersesuaian; karma buruk akan menghasilkan buah/akibat yang buruk, sementara karma baik akan menghasilkan buah/akibat yang baik pula. Sabda Buddha dalam tripitaka jelas menyatakan bahwa setiap makhluk mewarisi karma mereka sendiri, bukan karma orang atau makhluk lain. Diri sendiri yang berbuat, maka diri sendiri pulalah yang harus menanggungnya. Ini sebenarnya menjadi konsekuensi sangat logis bagi saya sebagai umatnya. Orang lain yang berbuat, masak saya yang menanggung? Orang lain yang mencuri buah mangga dari pohon orang lain, kok saya yang digebukin? Orang lain yang maling ayam, masak saya yang dipenjara?