Tujuh miliar lebih sudah manusia memenuhi planet ini. Seperti halnya fakta bahwa tidak ada dua manusia yang sama persis, biologis maupun psikologis, maka tidak ada pula dua manusia yang memiliki cara pikir dan pandangan sama persis.
Sering barangkali kita melihat - atau bahkan mengalami sendiri - ada saja orang-orang lain yang bertindak atau punya pola pikir yang nyeleneh. Di masa pandemi ini, tetap masih ada saja orang yang tak percaya ada yang namanya Covid-19. Ada juga orang yang sudah berkali-kali diberitahu dan dibina untuk kembali ke jalan yang benar, tapi masih mau menjadi residivis. Ada lagi orang yang tetap kekeuh dengan pandangan dan ajaran sendiri, mencela dan menghakimi liyan sebagai sesat, lalim. Teranyar, ada yang masih ngeyel mudik pulang kampung meskipun sudah dilarang; saat terjaring razia, malah lebih galak daripada polisinya...
Yaaah... manusia memang ada saja macamnya. Selalu ada saja yang beda, yang tidak lazim, yang tidak sesuai norma seharusnya. Saya pun sering juga menemukan yang seperti itu. Ada saja pasien sudah diingatkan berkali-kali untuk jaga pola makan tapi tetap saja bandel dan masih doyan makan sembarangan, padahal tensi, gula, dan kolesterol sudah amburadul. Miskin sih tidak, pendidikan pun ada; bisa dibilang mampulah untuk beli makanan sehat. Tapi sepertinya tidak dipilih jalan itu... Ada juga yang sudah diingatkan untuk rajin minum obat dan kontrol ke dokter, tapi ogah-ogahan dan sering mangkir padahal untuk kesehatannya sendiri...
Saya jadi ingat kembali ajaran humaniora semasa duduk di bangku kuliah dulu; ajaran tentang etika kedokteran dari Beauchamp dan Childress. Ada empat prinsip dasar: beneficence, nonmaleficence, patient autonomy, dan justice. Kalau diterjemahkan ke bahasa kita, artinya secara singkat yaitu manfaat, ketidaklalaian, otonomi pasien, dan keadilan. Penekanan untuk otonomi pasien ingin saya tekankan untuk kasus ini. Sebagai dokter, saya memang harus menyampaikan informasi dan edukasi yang tepat untuk memberitahu pasien saya terkait penyakit, pengobatan, dan pencegahannya, tapi keputusan akhir selalu - dan akan selalu - ada di tangan pasien sendiri. Dia yang punya badan dan hidupnya sendiri, maka dia pulalah yang menentukan nasib tubuhnya sendiri; dokter hanya memberitahu sebagai masukan atau referensi. Kalau tidak mau didengarkan, apalagi sudah dikasitahu berkali-kali (sampai mulut dower), yasudah... mana bisa (dan etis) saya memaksa? Yang penting sudah saya beritahu...
Tampaknya ini sangat sejalan dengan hidup sehari-hari. Kita sebagai bagian dari masyarakat luas memiliki banyak peran, salah satunya sebagai pengingat bagi kawan dan saudara kita untuk hal apapun, tapi cukup sampai sejauh itu saja. Bukan 'tugas' kita untuk mengubah orang lain; cukup diri kita sendiri saja. Orang lain bisa diambil sebagai bahan pelajaran dan pengalaman. Kalau hasilnya bagus, bisa diikuti. Kalau hasilnya buruk, jangan dicontoh. Kalau masih suka melakukan kriminalitas, biarkan polisi yang bekerja. Kalau masih sering nyinyir, biarkan teman lain dan orang lain yang 'mengajarkan', meskipun dengan cara keras (dijauhi, dikucilkan, dipergunjingkan, dsb). Mungkin dengan cara itu, harus begitu, baru bisa dia sadar...
Jangan pula sampai turut campur dan ikut masuk dalam pusaran masalah orang lain. Alih-alih menyelesaikan masalah, malah bisa semakin runyam dan akhirnya kita bisa jadi juga kena getahnya. Ada orang nyentrik bikin sensasi, lalu kita merasa 'gatel' dan ingin nyeletuk di kolom komentar. Nanti kalau orangnya tidak senang gara-gara komentar itu, bisa dituntut nanti kita... masuk penjara. Ada teman berantem, sampai ikut-ikutan belain dan adu mulut padahal ngerti masalahnya saja tidak. Nanti malah jadi semakin pelik... Diam saja dan biarkan teman kita menyelesaikan sendiri secara mandiri. Pengecualian satu-satunya yaitu kalau kita sudah paham duduk perkara dan keadaan memang menuntut peran kita untuk menyelesaikan masalah, bukan memancing apalagi memperumit; biasanya posisi ini membuat kita sebagai mediator saja, dengan bahasa yang netral dan tidak memihak kawan maupun lawan.
Intinya, mengingatkan itu boleh tapi jangan sampai kepo; harus tahu bagaimana menempatkan diri dan tidak mempersulit keadaan dan juga diri sendiri. Semoga tulisan pendek ini bisa bermanfaat sebagai pengingat untuk kita semua. Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H