Kemarin-kemarin, presiden kita pernah berkata bahwa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) tidak efektif dan menekankan agar pendekatannya lebih dilakukan secara mikro, dalam artian untuk dilakukan dari tingkat organisasi masyarakat terbawah (keluarga, rukun tetangga dan warga/RT dan RW).
Saya rasa itu sangat tepat. Ini terutama harus diperhatikan untuk masyarakat kelas bawah. Sudah sangat sering - bahkan sampai bosan - saya melihat penduduk-penduduk di banyak perkampungan di Jakarta, provinsi tempat saya tinggal ini, tetap saja rutin dan asyik berkumpul untuk bercengkerama dengan tetangga-tetangganya.Â
Lebih hebatnya lagi, itu juga sangat sering dilakukan bertelanjang muka (baca: tanpa masker), seolah-olah tidak (mau) tahu masih ada pandemi Covid-19. Itu di Jakarta, yang notabene ibukota negara, tempat yang seharusnya memiliki penduduk yang sudah maju pengetahuannya. Nyatanya... yah begitulah yang terjadi.
Tidak usah jauh-jauh begitu mungkin ya. Saya di rumah saya sendiri ini pun, masih menemukan hal menjengkelkan. Saya kadang-kadang melakukan belanja daring (online) dan menangkap basah kurir yang membawa paket pesanan saya tidak memakai masker. Tidak jarang juga mereka sambil berteriak "PAKEEETTT!" di depan pintu rumah saya saat datang mengantar.Â
Padahal mereka ini dari perusahaan-perusahaan kurir nasional yang sudah punya nama di telinga masyarakat luas... Seram, saya bergumam dalam hati. Bagaimana kalau mereka membawa virus Covid-19? Tidak ada jaminan mereka bebas dari virus laknat itu saat datang. Sudah mana mereka berteriak-teriak lagi depan pintu rumah saya... bisa nyebarin virus itu namanya!
Ke orang-orang ini, beberapa kali saya sudah 'ocehin' dan bertanya kenapa tidak memakai masker. Terdiam.. bahkan kadang tertawa kecil saja. Rasanya saya ingin sekali marah.. apa sulitnya hanya memakai masker begitu. Mungkin terasa gerah atau tidak enak karena ada yang 'nempel-nempel' di wajah. Yah itu memang begitu. Tapi demi kesehatan... orang yang bagus pola pikirnya harusnya bisa menilai lebih penting mana soal tak nyaman atau keselamatan diri.
Baiklah.. kalau seandainya dia tidak sayang diri sendiri. Saya juga tidak bisa memaksakan pilihan hidup mereka. Tapi mereka harusnya ingat bahwa saya bukanlah mereka, yang masih mau hidup, masih punya banyak mimpi (dan punya tanggungan ini itu). Karena virus ini menyebar sangat mudah, ini menuntut semua orang kompak untuk saling menjaga satu sama lain.Â
Saya berharap para pemilik atau pemegang perusahaan-perusahaan ekspedisi itu sudi memperhatikan hal ini. Saya kini masih tinggal bersama kedua orang tua saya, yang usianya sudah paruh baya. Saya khawatir dengan keamanan kedua orang tua saya itu. Kalau saya yang kena Covid-19 sih mungkin masih bisa selamat.. itu pun amit-amit ya. Bagaimana kalau yang terkena malah - amit-amit - orang tua saya?
Masih ada lagi beberapa kisah mengesalkan lain yang serupa selain dari para pengantar paket itu. Yang nganterin makanan dari pesan take away restoran juga sering begitu. Ini dilematis. Saya tentu tidak mungkin tidak pernah memesan paket ataupun makanan online seumur hidup saya. Satu atau dua waktu, saya pasti memerlukan jasa pengantaran. Toh itu juga bisa menjaga diri saya juga dari sering-sering bepergian belanja-belanja dan menaikkan risiko paparan Covid-19. Banyak tokoh publik juga menyarankan hal itu (belanja daring). Tapi kalau memesan..... yah begini masalahnya.
Saya sih selalu siap stok alkohol di rumah saya. Setiap barang yang akan masuk rumah saya harus disemprot alkohol dulu. Setidaknya itu bisa mematikan virusnya yang mungkin saja dibawa oleh pengantar-pengantar itu. Tapi bagaimana dengan yang lain... terutama yang tidak mampu beli alkohol, yang untuk mengisi perut setiap hari saja masih sulit? Tidak kelar-kelar nanti ini 'kopit'... Kesel kesel kesel!
Itulah makanya saya setuju dengan ide Pak Jokowi itu. Harus dibenerin mulai dari level individunya, meskipun saya belum tahu penerapan konkritnya akan seperti apa. Saya bingung antara harus tetap optimis mereka ini bisa berubah (entah dengan cara dibagaimanakan), atau akhirnya harus diterima saja sebagai 'kenormalan' yang alami.