Mohon tunggu...
Cintya DivaAnjani
Cintya DivaAnjani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa S1 jurusan Ekonomi Islam di Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Film

Close (2022): Efek dari Standar Maskulinitas yang Memicu Perpecahan

26 Desember 2024   10:10 Diperbarui: 26 Desember 2024   23:24 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Apa yang terlintas dipikiran anda jika melihat dua anak laki-laki berteman dengan sangat dekat dan biasa untuk melakukan physical touch? Mungkin anda akan melihat hal itu sebagai suatu hal yang tidak normal dan aneh, bahkan beberapa orang akan berpikir bahwa kedua anak laki-laki itu mungkin adalah sepasang kekasih. Namun hal itu berbeda kasusnya bila yang melakukan adalah anak perempuan. Bila ada dua anak perempuan berteman dengan sangat dekat dan bergandengan tangan atau berpelukan, orang-orang tidak akan berpikir aneh tentang mereka. Sebuah perbedaan bukan? Hal ini termasuk merupakan efek negatif yang ditimbulkan oleh standar masukilinitas di masyarakat, dimana melakukan hal seperti bergandengan tangan atau berpelukan pada pertemanan dianggap aneh di dunia laki-laki. Hal ini menjadi suatu isu yang jarang disorot, tapi isu ini lah yang menjadi fokus utama dalam film Belgia yang dirilis pada tahun 2022 berjudul Close.

Close merupakan film coming of age dari Belgia yang dirilis pada tahun 2022 dan disutradarai oleh Lukas Dhont. Film ini pertama kali tayang di Festival Film Cannes pada 26 Mei 2022 dan memenangkan penghargaan Grand Prix, yaitu salah satu penghargaan bergengsi. Lalu film ini juga memenangkan penghargaan André Cavens sebagai Film Terbaik, selain itu film ini juga masuk ke dalam banyak nominasi penghargaan. Disamping prestasi-prestasi yang didapatkan, film ini menceritakan sebuah cerita yang sangat menyayat hati dan membuat film ini layak untuk mendapatkan penghargaan. Film ini bercerita mengenai hubungan pershabatan dua anak laki-laki yang bernama Leo (Eden Dambrine) dan Remi (Gustav De Waele). Kedua anak laki-laki ini memilki hubungan persahabatan yang erat dan melakukan hal seperti bergandengan tangan dan berpelukan adalah suatu hal yang normal bagi mereka, mereka pun sering menginap dan tidur bersama. Mereka tidak merasa ada yang aneh dalam hubungan mereka, sampai akhirnya saat mereka di sekolah dan melakukan hal-hal tersebut banyak teman-teman mereka yang melihat mereka aneh, bahkan ada yang sampai membully mereka.

Karena hal ini, Leo pun akhirnya perlahan-lahan menjauhi Remi agar tidak dibully oleh teman-temannya dan dapat diterima di lingkungan pertemanan. Remi akhirnya menyadari bahwa ada yang berubah dari Leo, seperti bagaimana Leo selalu membuat alasan untuk menghindari skinship dengannya tidak seperti dulu dimana mereka bebas melakukannya. Remi yang menyadari perubahan dari Leo akhirnya mencoba mengkonfirmasi apa alasan yang membuat Leo menghindarinya, namun hal ini tidak berakhir dengan baik dan malah memicu sebuah pertengkaran hebat antara keduanya. Setelah kejadian itu Leo dan Remi berhenti berhubungan dan tidak pernah bermain bersama lagi, mereka saling menghindari satu sama lain. Sampai akhirnya perpecahan dari persahabatan mereka berakhir dengan sebuah berita duka.

Film ini memberi para penontonnya gambaran akan efek negatif yang ditimbulkan oleh standar maskulinitas di lingkungan masyarakat. Bagaimana suatu standar dapat menjadi alasan dari perpecahan suatu hubungan persahabatan. Karakter pada film ini juga berfokus pada anak-anak yang membuat film ini semakin membuat para penonton sedih karena harus melihat anak yang masih muda harus bergelut dengan emosi yang besar. Selama menonton penonton dibawa untuk ikut terhanyut  ke dalam konflik yang terjadi pada film ini, penoton dibuat untuk ikut merasakan gejolak emosi yang terjadi pada film ini. Menariknya dua pemeran utama anak laki-laki di film ini yaitu Eden Dambrine yang memerankan Leo dan Gustav De Waele yang memerankan Remi, mereka berdua sebelumnya belum pernah bermain film atau bisa dikatakan bahwa film ini merupaka film debut mereka. Namun mereka berhasil untuk menampilkan dan menyalurkan emosi yang terjadi pada film ini kepada para penonton. Selain mengangkat isu mengenai standar maskulinitas dan bully, film ini juga memberikan pesan tentang berdamai dengan keadaan dan diri sendiri pada akhir film. Maka dari itu pada akhir film kita ditunjukkan bagaiman Leo akhirnya menerima segala hal yang telah terjadi dan berdamai dengan dirinya sendiri.

Diakhir film ini berhasil menyalurkan pesan dari ceritanya mengenai isu standar maskulinitas yang dapat memicu hal negatif. Selain itu sebagai penonton juga mendapatkan pesan berharga mengenai persahabatan dan berdamai dengan keadaan dan juga diri sendiri. Para penonton juga mendapatkan pengalaman menonton yang sangat emosional selama berjalannya film ini, diamana penonton diajak untuk ikut merasakan setiap emosi yang ada pada film ini, mulai dari amarah, sedih, kecewa, bahkan duka. Oleh karena itu tidak perlu dipertanyakan lagi mengapa film ini dapat menggapai banyak prestasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun