Novel yang berjudul Tenggelamnya Kapal van der Wijck adalah karya dari seorang penulis besar Indonesia, yaitu Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang lebih dikenal dengan nama pena Hamka. Novel ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1939 dan telah menjadi salah satu karya sastra terkenal di Indonesia sampai sekarang, bahkan karya ini pun diterbitkan dalam bahasa melayu.
Novel  Tenggelamnya Kapal Van der Wijck mengisahkan tentang kisah cinta antara Zainuddin, seorang pemuda Minangkabau yang bercita-cita tinggi, dengan Hayati, seorang gadis Minangkabau yang cantik. Namun, cinta mereka dipenuhi dengan rintangan dan konflik, termasuk perbedaan status sosial dan budaya, serta peristiwa tragis yang terjadi ketika kapal Van der Wijck, yang menjadi inti kisah ini, tenggelam.
Kisah ini berawal dari kehidupan Zainudin yang tidak pernah beruntung sejak ia kecil. Ibunya meninggal tak lama setelah ia lahir, dan ayahnya pun menyusul beberapa selang kemudian. Zainudin yang menjadi seorang yatim piatu akhirnya diasuh oleh Mak Base.
Ketika ia beranjak dewasa, Zainudin memutuskan untuk pergi ke tanah asal ayahnya di Batipuh, Minangkabau. Walau Mak Base merasa berat hati dengan keputusan Zainudin tersebut, tetapi akhirnya Zainudin tetap berangkat menuju Batipuh. Sayangnya saat Zainudin sampai di sana, ia tidak disambut dengan baik oleh sang nenek. Alasannya ialah karena ia dianggap tidak memiliki hubungan kekeluargaan lagi dengan keluarganya di Minangkabau, sebab meskipun ayahnya asli dari Minang, ibu Zainudin berasal dari Bugis,  sementara itu struktur kekerabatan Minangkabau ditarik dari ibu. Akibat dari latar belakangnya tersebut, Zainudin menjadi terasingkan dan merasa  sangat sedih.
Namun kesedihan karena merasa diasingkan itu dapat terobati sedikit ketika Zainudin jatuh hati kepada seorang perempuan yang cantik serta berhati lembut bernama Hayati. Melalui kegiatan surat menyurat mereka, Zainudin dan Hayati pun mulai jatuh cinta. Tetapi kebahagiaan Zainudin karena mencintai Hayati tidak berlangsung lama karena lamaran Zainudin ditolak oleh keluarga Hayati dan ia pun diusir dari Batipuh.
Atas desakkan keluarga, Hayati menikahi lelaki lain yang dijodohkan dengannya bernama Aziz, dan Zainudin yang sangat putus asa akhirnya pindah ke Surabaya bersama temannya, Muluk. Di sana, ia menulis karangan dan menjadi penulis yang sukses berkat karang-karangannya tersebut.
Namun tanpa diduga, Azis dan Hayati juga pindah ke Surabaya dan rumah tangga mereka hancur berantakkan sampai akhirnya mereka bercerai. Hayati mencoba untuk kembali kepada Zainudin, tapi karena Zainudin masih merasa sakit hati terhadap masa lalu mereka, ia pun menolaknya dan Hayati dengan berat hati kembali ke kampung halamannya. Naas, kapal yang ditumpangi Hayati yaitu Kapal Van der Wijck malah tenggelam.
Sebetulnya Hayati masih hidup saat ia diselamatkan dari kapal, tetapi nasib berkata lain saat ia berada di rumah sakit. Hal itu membuat Zainudin sangat terpukul, terlebih ketika ia tahu bahwa Hayati masih sangat mencintainya seperti dahulu. Akhirnya Zainudin menjadi sakit-sakitan dan menghembuskan napas terakhirnya setahun kemudian. Ia dimakamkan di dekat pusara Hayati.
Dari novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck ini kita dapat mengambil pelajaran bahwa kesetiaan dan komunikasi sangatlah penting dalam sebuah hubungan, sehingga tidak akan menimbulkan penyesalan di hari-hari berikutnya. Selain itu novel ini pun memiliki banyak amanat dan memuat nilai-nilai penting dalam kehidupan, seperti tentang kesetiaan, kesetaraan, keberanian, dan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan. Kekurangannya ada dalam segi bahasa yang masih sangat khas pada masa penulisannya, sehingga menjadi tantangan bagi pembaca modern dalam memahami novel ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H