FOMO adalah singkatan dari Fear Of Missing Out, dalam bahasa Indonesia istilah ini biasa digunakan untuk menyebut pola perilaku anak muda yang selalu merasa khawatir berlebihan dan merasakan ketakutan akan tertinggal tren yang sedang berjalan. Sindrom FOMO merupakan sindrom takut untuk tertinggal dengan segala hal seperti gaya hidup. Berdasarkan penelitian Psychology Today, konsekuensi negatif dari FOMO termasuk didalamnya adalah masalah identitas diri, kesepian, citra negatif, perasaan tidak mampu secara pribadi, dan kecemburuan. Dengan demikian, FOMO tidak hanya menyangkut gaya hidup, namun juga menyangkut gaya berpikir, kesejahteraan finansial, dan nilai kehidupan.
Fear Of Missing Out juga merupakan ketakutan akan kehilangan momen berharga individu atau kelompok lain dimana individu tersebut tidak dapat hadir di dalamnya dan ditandai dengan keinginan untuk tetap terhubung dengan apa yang orang lain lakukan melalui internet atau dunia maya. Salah satu ciri dari FOMO adalah rasa takut dan cemas akan tertinggal informasi. FOMO merupakan kekuatan pendorong dibalik penggunaan internet dan media sosial khususnya tingkat FOMO tertinggi dialami oleh individu pada masa transisi remaja menuju dewasa awal (emerging adulthood). Maka individu yang mengalami FOMO memiliki kecenderungan kecanduan internet dan memaksakan diri dengan keluar dari zona nyaman.
Beberapa tahun terakhir, teknologi informasi dan komunikasi (TIK) mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pesatnya perkembangan TIK menjadikan internet sebagai alat komunikasi utama yang sangat diminati oleh masyarakat khususnya pelajar. Pelajar masa kini tumbuh di era globalisasi yang beriringan dengan pertumbuhan teknologi. Hal inilah yang menjadikan media sosial sebagai suatu bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari pelajar atau istilah lainnya adalah kecanduan media sosial.
Kecanduan media sosial dapat berdampak positif sebagai seperangkat aplikasi dalam jaringan internet yang memudahkan penggunanya untuk berpartisipasi dalam membagi berita, informasi, dan konten kepada orang lain. Walaupun demikian, kecanduan media sosial juga berdampak pada gangguan psikologis penggunanya. Karena penggunanya akan cenderung menghabiskan banyak waktu untuk mengakses media sosial akibat rasa ingin tahu yang tinggi, kurangnya kontrol diri, serta kurangnya kegiatan produktif di kehidupannya. Orang yang kecanduan media sosial cenderung tidak mampu mengontrol penggunaannya saat online dan seseorang yang kecanduan merasa terhukum apabila tidak memenuhi hasratnya.
Waktu yang ideal untuk kita menggunakan media sosial dalam sehari adalah dua jam. Penggunaan lebih dari dua jam per hari dapat menimbulkan tekanan psikologis dan gangguan kesehatan, baik fisik maupun mental. Dari segi fisik, menggunakan media sosial hingga larut malam dapat mengganggu siklus tidur sehingga penggunanya bisa mengalami gangguan tidur dan social jet lag. Tidak hanya itu, pengguna yang kecanduan media sosial akan tidak mampu untuk mengontrol penggunaannya, mengabaikan kehidupan sosial, pekerjaan, aktivitas sehari-hari yang lebih penting serta menjadi lebih mudah marah, gelisah dan tidak tenang. Berbagai dampak negatif itu membuat para ahli menyimpulkan bahwa kecanduan terhadap media sosial sama berbahayanya dengan kecanduan rokok dan alkohol.
Salah satu peneliti mengatakan bahwa kecanduan media sosial mencakup enam kriteria yaitu:
1. Salience
Kondisi saat individu saat ingin diperhatikan oleh orang lain di media sosial. Oleh karena itu, pengguna media sosial yang mengalami salience ini sangat ingin menjadi sumber perhatian.
2. Mood Modification
Pengguna ingin memperbaiki perasaan dengan mengalihkan perhatiannya pada media sosial. Pengguna media sosial tersebut akan mengurangi perasaan negatif dengan bermain menghabiskan waktu membuka dan bermain media sosial.
3. Tolerance/Craving
Penggunaan media sosial yang terus bertambah untuk mendapat kepuasan yang sama dari penggunaannya. Karena diawali dengan mendapatkan kepuasan dari penggunaan pertama, maka pengguna ingin menambahkan kepuasannya.
4. Withdrawal
Mengalami stress jika dilarang menggunakan media sosial dan akan mencari alasan untuk menggunakan media sosial kembali.
5. Conflict/Functional Impairment
Mengorbankan kewajiban dan membahayakan aspek penting lainnya dalam hidup karena penggunaan media sosial.
6. Relapse/Loss of Control
Ingin menghentikan atau mengendalikan penggunaan media sosial namun tidak berhasil untuk mengontrol penggunaannya. Kebutuhan untuk terus menggunakan media sosial sebagai sumber sosialisasi dan pencarian informasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H