Indonesia menghadapi tantangan ancaman nuklir dan mengharuskan berdiri pada pijakan yang ringkih, karena saat ini Indonesia sebagai negara yang tengah melakukan pembangunan dan pembenahan dalam negeri untuk terciptanya Indonesia yang berdaulat, maju, adil, dan makmur sesuai dengan visi misi Indonesia Emas 2045. Namun dengan adanya ancaman keamanan negara akibat perselisihan, kepentingan Indonesia terbagi. Tidak hanya fokus pada pembenahan dan pembangunan dalam negerinya, namun focus pada kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Indonesia perlu untuk menyikapi ancaman keamanan dari eksternal yang nantinya akan mempengaruhi tata kelola negara baik berdampak secara langsung maupun tidak langsung. Dengan membawakan fakta bahwasannya, Indonesia masih menjadi negara yang berkembang dengan bantuan pinjaman tangan baik dari China ataupun Amerika Serikat, kedua negara besar tersebut yang memang mimiliki andilnya pada perselisihan ancaman nuklir di Semenanjung Korea. Â
Hal tersebut membawa Indonesia mengambil sikap dalam perselisihan ancaman nuklir dengan menyesuaikan faktor faktor yang menjadi latar belakang pengaruh untuk tata kelola pemerintahan Indonesia. Salah satu upaya Indonesia adalah meratifikasi perjanjian internasional dalam upaya mem-proliferasi nuklir serta memastikan kawasan Asia Tenggara bebas dari senjata nuklir, seperti halnya pada tahun 1979 Indonesia meratifikasi Non-Proliferasi Nuklir (NPT), untuk mencegah penyebaran ancaman senjata nuklir dan mendorong pelucutan senjata nuklir sebagai negara non-nuklir tidak mengembangkan atau memperoleh senjata nuklir dan mendorong perlucutan senjata di tingkat global. Lalu memastikan kawasan Asia Tenggara sebagai zona bebas senjata nuklir, seperti Traktat Bangkok yang diratifikasi pada 1997. Dan baru baru ini  Traktat Pelanggaran Senjata Nuklir diratifikasi pada 2022 tentang larangan sepenuhnya pengembangan, pengujian, produksi, penyimpanan, penempatan, dan penggunaan senjata nuklir juga tidak terlibat dalam aktivitas terkait senjata nuklir dan mendukung usaha dunia menuju bebas senjata nuklir.
Jika melihat kebelakang faktor yang membuat Semenanjung Korea berselisih, perselisihan ini menjadi warisan yang diberikan kolonial terhadap Semenanjung Korea, berakhirnya kekuasaan Jepang dan pengalihan dari Jepang ke Perang Dunia II. Wilayah Utara dikuasai oleh Uni Soviet dengan ideologi komunis dan di bagian Selatan dikuasai oleh Amerika Utara dengan ideologi kapitalis. Dengan pelopor perbedaan ideologi membuat perselihan dikendarai oleh klaim atas kedaulatan pemerintah yang sah untuk seluruh Korea. Terjadilah perebutan antar Republik Korea (Korea Selatan) dan  Republik Demokratik Rakyat Korea (Korea Utara). Perang antara Utara dan Selatan di Semenanjung Korea memakan waktu kurang lebih 3 tahun dan memakan korban jiwa dikeduanya. Berakhir pada 1953 dengan penandatangan perjanjian gencatan senjata, hanya memberhentikan tidak menyelesaikan dan menghasilkan pembentukan Zona Demiliterisasi Korea yang saling dijaga ketat dan tidak jarang menimbulkan efek setelah perang seperti serangan lintas batas, insiden mata-mata, dan ketegangan lainnya. Layaknya latihan militer bersama, Korea Selatan dengan Amerika Serikat yang dianggap sebagai ancaman. Dengan anggapan ancaman, Korea Utara mulai mengembangkan senjata nuklir dan ketegangan semakin meluas hingga ke komunitas internasional.
Akibat dari pengembangan senjata nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara menimbulkan ketegangan internasional, berbagai upaya sudah dilakukan untuk menyelesaikan bukan hanya untuk Semenanjung Korea saja namun juga upaya untuk meredam kekhawatiran dari seluruh negara di dunia akan perlombaan senjata nuklir. Kedua negara besar yang saat Perang Dunia II ikut terlibat adalah Amerika Serikat dan Uni Soviet, kini kedua negara tersebut menjadi kepanjangan dari masalah yang baru baru ini terjadi. Setelah Uni Soviet runtuh kepentingan ideologi yang sama dilanjutkan oleh China untuk membantu Korea Utara dan Amerika Serikat tetap konsisten berada di pihak Korea Selatan (Don Oberdorfer dan Robert Carlin, 2014). Dengan begitu dapat dikata bahwa apa yang terjadi saat ini di Korea Utara untuk terus mengembangkan senjata nuklirnya adalah karena kebutuhan. Keperluan Korea Utara dalam deterensi terhadap ancaman eksternal, mengingat saat ini Korea Selatan bersekutu dengan Amerika Serikat. Serta adanya keinginan untuk memiliki pengaruh lebih besar dari perundingan internasional, dengan begitu peningkatan senjata nuklir untuk kemajuan pertahanan negara sebagai jaminan kelangsungan hidup rezim kim dikenal sebagai rezime survive (Evans J.R. Revere, 2019).
Ketegangan terus berlanjut hingga pada Mei 2024, Liu Pengyu sebagai juru bicara kedutaan besar China di Washington menyampaikan pengerahan senjata nuklir dari Amerika Serikat di kawasan Asia-Pasifik, menjadi langkah serius yang akan mengancam keamanan negara negara di kawasan, serta merusak perdamaian dan stabilitas regional. Adanya penolakan keras dari Amerika Serikat terhadap program nuklir Korea Utara karena bentuk dari ancaman langsung kepada keamanan nasional Amerika Serikat dan sekutu sekutunya di Asia seperti Korea Selatan dan Jepang, dan juga adanya pemberian sanksi ekonomi yang ketat dan Amerika Serikat bekerjasama dengan PBB untuk mengadopsi serangkain resolusi mengutuk uji coba senjata nuklir serta memberikan embargo perdagangan senjata dan pembatasan lainnya. Disinilah peran China dimulai China di Semenanjung Korea untuk memastikan perdamaian dan stabilitas, serta memajukan penyelesaian politik yang sesuai dengan kepentingan bersama semua pihak, sebagai mitra dagang utama Korea Utara tidak dapat diabaikan tujuan di balik dukungan China untuk membantu pendanaan Korea Utara dengan begitu China memiliki andil yang dianggap bisa menengahi Semenanjung Korea karena kekuatan ekonominya.
Dengan begitu perselisihan Semenanjung Korea yang melibatkan ancaman keamanan senjata nuklir, membuat seluruh negara ingin berlomba lomba membuat senjata nuklir hal tersebut memicu dunia internasional memerlukan regulasi yang mengatur senjata nuklir, bukan hanya penggunaannya saja melainkan izin yang diberikan untuk negara dapat mengembangkan senjata nuklir bahkan sampai kepada limbah produksi senjata nuklir harus diperhatikan. Dengan regulasi diharapkan dapat mengatur negara yang memiliki wewenang pengembangan senjata nuklir dan juga akan melindungi negara negara non-nuklir seperti Indonesia merasa aman dari ancaman perlombaan senjata nuklir karena ikut meratifkasi dan baik Indonesia ataupun masyarakat internasional untuk ikut mengawal proses perdamaian di Semenanjung Korea. Pijakan kuat sebuah negara adalah memperjuangkan kepentingan nasional negaranya dengan memperbanyak rekan kerjasama negara tanpa adanya negara musuh.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI