gambar dari https://en.wikipedia.org/wiki/Spratly_IslandPerebutan kawasan yang terjadi antara China dengan beberapa negara di Asia Tenggara semakin mengkhawatirkan dengan begitu persengkataan ini sudah berada di tahap konflik multinasional yang kompleks, China sebagai salah satu hegemoni dunia turut andil dalam klaim persengkataan pada Laut China Selatan. China mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan melalui garis sembilan garis putus (Nine-Dash Line), lalu pada tahun 2016, Mahkamah Arbitrase Permanen (PCA) memutuskan bahwa klaim historis China tidak memiliki dasar hukum, namun China menolak putusan tersebut. Langkah China tidak berhenti pada klaim, China membangun pulau buatan dan pangkalan militer. Pulau Spratly banyak menimbulkan kecaman untuk China dan respon dari negara negara lain. Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), yang telah diratifikasi oleh Tiongkok, "negara memiliki kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut". Dan China di kecam karena pembangunan pulau tersebut merusak ekosistem lingkungan yang dapat terdampak langsung kepada Vietnam dan Filipina sebagai kawasan terdekat dari Pulau Spratly, karena pembangunan pulau reklame yang menggabungkan karang karang laut untuk dijadikan satu pulau berisikan infrastruktur militer seperti landasan pacu serta hangar pesawat. Hal tersebut memunculkan respon negara lain kehadiran militer Amerika Serikat yang mendukung kebebasan navigasi, sudah tidak rahasia bahwa Filipina sangat dekat dan mendukung Amerika Serikat hal tersebut yang dapat dimanfaatkan sebagai pijakan blok barat untuk menghalau hegemoni China pada negara negara Asia Tenggara. Respon Amerika Serikat seakan memberikan simbol bahwasannya Amerika Serikat takut dominasinya pada dunia hilang dan tergantikan oleh China.
Sebelum negara negara Asia Tenggara merasa terancam atas klaim China di Laut China Selatan, perlu adanya tinjauan lebih lanjut mengenai apa yang menjadi fokus politik luar negeri China, dapat dilihat pada beberapa dekade lalu dimana China pernah melakukan isolasi negara pada kepemimpinan Mao Zedong yang yang pernah belajar ajaran Marxisme Leninisme dan telah menerapkan dengan membawa China menjadi negara yang bersifat isolasionis yang mengarahkan China untuk membangun kekuatan melalui hubungan dengan negara-negara sosialis lain kaitannya untuk menandingi Amerika Serikat kala itu. Tidak ada kabar nyata bahwasannya China dapat menginvansi negara negara lain, ditambah dengan kebijakan politik luar negeri saat ini. Hu Jintao (tahun 2002-sekarang). Pada era ini, China sudah menjadi major power dalam hal perekonomian. Pertumbuhan ekonomi terjadi sangat pesat. China semakin aktif dalam mempromosikan globalisasi ekonomi dan multipolarisme. Pada era ini, arah politik luar negeri China pun semakin jelas. China ingin menciptakan situasi internasional yang kondusif bagi pertumbuhanekonominya dengan cara menghindari konfrontasi yang ada. Dan juga kebijakan politik luar negeri China dipandu oleh 4 prinsip yakni tidak adanya hegemoni, tidak ada politik kekuasaan, tidak ada aliansi militer dan tidak ada perlombaan senjata. Selaras dengan Hal ini, Pemimpin China Hu Jin Tao menekankan bahwa kepentingan China berada pada kerangka damai dan ingin meningkatkan pengaruhnya dalam sistem internasional dan keinginan untuk meningkatkan kerukunan internasional yang lebih besar lagi.
Memang tidak menutup kemungkinan bahwasannya klaim China atas Laut China Selatan memiliki kepentingan strategis yang sangat signifikan bagi China. Wilayah ini merupakan jalur perdagangan maritim yang sangat penting dan vital untuk perekonomian China. Laut China Selatan mengandung cadangan minyak dan gas bumi yang besar, setara dengan cadangan minyak meksiko. Segi militer dan keamanan, menguasai Laut China Selatan memberikan keuntungan strategis bagi China dalam mengamankan wilayahnya dan mempertahankan kekuatan di kawasan Asia-Pasifik. Proses penawaran dalam penyelesaian sengketa wilayah Laut China Selatan yang melibatkan China, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan. Tidak bisa diselesaikan secara dialog bilateral karena setiap negara yang bersinggungan langsung dengan China memiliki kerjasama dari China, konflik sengketa ini harus andil berpegangan tangan bersama negara negara yang terlibat karena perlu sama sama untuk mematuhi perjanjian dan saling mengawasi pelanggaran bersama. Dan juga tidak perlu adanya pihak eksternal seperti keterlibatan Amerika Serikat yang bergerak dengan Filipina baik pihak eksternal tidak perlu berperan lebih lanjut, cukup jadikan pemantau lingkungan tidak perlu andil militer karena negara yang terlibat harus bergerak tanpa invansi blok manapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H