Mohon tunggu...
Cinta Verdhy Azzahra
Cinta Verdhy Azzahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Saya adalah seorang Mahasiswi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Jurusan Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora yang kini tengah menempuh semester 3

Hobi saya menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kesetaraan Gender dalam Pendidikan

17 Desember 2024   08:30 Diperbarui: 17 Desember 2024   08:59 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diskriminasi terhadap perempuan masih sering terjadi di berbagai lapisan masyarakat dan wilayah di seluruh dunia. Penyebab utamanya adalah sulitnya masyarakat sepenuhnya melepaskan diri dari budaya patriarki yang sudah mengakar selama ribuan tahun, di mana perempuan sering berada dalam posisi subordinat terhadap laki-laki. Dalam konteks ini, pendidikan memainkan peran krusial bagi perempuan karena kontribusi mereka yang besar dalam membentuk kualitas generasi penerus. Islam sendiri menekankan pentingnya peran ibu sebagai "madrasah pertama" bagi anak-anaknya. Namun, kenyataannya, perempuan seringkali dibatasi ruang geraknya oleh pandangan yang tidak adil, termasuk dalam hal akses terhadap pendidikan.

Bias gender terus berkembang dan diwariskan melalui berbagai proses, termasuk sistem pendidikan formal di sekolah dan lingkungan keluarga. Dalam materi pembelajaran, seperti buku ajar, seringkali ditemukan representasi yang tidak mencerminkan kesetaraan gender. Contohnya, profesi pilot biasanya digambarkan sebagai laki-laki karena dianggap membutuhkan kemampuan dan kekuatan yang hanya dimiliki laki-laki, sementara guru lebih sering digambarkan sebagai perempuan karena profesi ini dikaitkan dengan peran merawat dan mendidik. Ironisnya, meskipun mayoritas guru adalah perempuan, posisi kepala sekolah masih didominasi oleh laki-laki.

Laki-laki sering dianggap lebih berhak mendapatkan pendidikan tinggi karena kelak mereka yang bertanggung jawab mencari nafkah untuk keluarga, sedangkan perempuan dipandang hanya akan menjadi ibu rumah tangga. Pandangan ini jelas tidak adil bagi perempuan dan menghambat mereka mendapatkan hak pendidikan yang layak. Jika perempuan tidak memperoleh pendidikan yang memadai, mereka akan kesulitan berperan dalam keluarga, termasuk mencari pekerjaan yang layak untuk membantu perekonomian. Oleh karena itu, perempuan harus diberikan hak yang sama dalam mengakses pendidikan untuk menghadapi tantangan semacam ini.

Kesetaraan gender bukan berarti menciptakan konflik antara laki-laki dan perempuan, melainkan membangun relasi yang adil dan memberikan kesempatan yang sama bagi keduanya. Pendidikan dengan kurikulum berbasis gender menjadi salah satu langkah penting untuk mencapai tujuan ini. Implementasi kurikulum tersebut memerlukan dukungan kebijakan yang efektif agar peserta didik dapat memahami pentingnya kesetaraan gender secara komprehensif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun