Mohon tunggu...
Heni Marlia
Heni Marlia Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

just an ordinary and simple girl

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Maaf, Aku Lupa!

2 Agustus 2012   02:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:20 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1343874629978527527

Aku mengenalnya dari media pertemanan virtual. Sering mengirim komentar dan menyebut nama akunku. Sehari saja tidak bertegur sapa ala dunia maya, serasa sepi. Pernah kami tidak bertegur sapa, aku pun merasa khawatir, kenapa dia? Jangan-jangan...tapi itu hanya pikiranku. Dia hanya malas membuka pertemanan virtual itu. Kami ternyata tinggal di satu kota. Bicaranya sangat manis dan sopan. "Hmm...lumayan lah." pikirku. Kami sering berkirim kabar lewat jejaring sosial. Sampai-sampai aku tau sekarang dia sedang apa dan dengan siapa. Aku pun, entahlah, sepertinya aku mengenalnya. Tapi otakku selalu menolaknya ketika aku ingin berpikir keras tentang dia, mencari tahu siapa dia. Beberapa hari...beberapa minggu dan beberapa bulan berlalu dan kami selalu seperti itu. Sepertinya sudah menjadi kebiasaan kami bertegur di dunia maya. Hingga suatu hari, dia meminta nomor handphone aku. Aku belum sempat memberinya. Aku takut nantinya dia menculikku seperti berita tentang jejaring sosial sekarang-sekarang ini. Kolot pikiranku, tapi itulah. Sampai kedua kalinya dia meminta nomor handphone-ku. Bicaranya yang lembut dan tidak memaksa itu yang akhirnya kuberikan nomor handphone-ku ke dia. Dia menghubungiku, lewat pesan singkat. Aku membalas. Ya seperti itulah, perkenalan di dunia maya dan beralih ke handphone. Sebenarnya sejak dulu dia ingin bertemu dengan aku. Tapi aku selalu menolaknya. Aku takut dan aku selalu takut. Dia pun menawarkan diri untuk berkunjung ke rumahku. Ah...aku tidak mau, pikirku. Dia tahu aku kuliah dimana, dia pun tahu aku tinggal dimana, padahal di profil jejaring sosial, aku tidak mencantumkannya. Hmm...aneh. Dia selalu bercerita tentang kehidupannya. Dulu dia punya pacar yang sangat baik, tapi entah kenapa pacarnya itu meninggalkannya. Ada rasa cemburu waktu dia bicara itu. Tapi aku sadar, aku cuma teman virtualnya. Dia menceritakan betapa baik dan cantik pacarnya itu. Dia seumuranku. Pokoknya dia menceritakan semuanya padaku. Aku menghargainya dengan bercerita tentang aku juga. Tapi aku tidak menceritakan masa laluku. Aku kurang ingat masa laluku seperti apa. Aku hanya bercerita setiap ada masalah kuliah ataupun masalah dengan teman kampus, standar, seperti itu. Sampai suatu hari, aku ingin menangis ketika dia menceritakan bahwa dia hampir mau tunangan dengan "mantan" pacarnya itu. Sebenarnya bukan mantan, perempuan itu yang meninggalkannya tanpa ada kata putus. "Kasihan sekali dia." Dia ditinggalkan pacarnya itu sehari sebelum acara tunangannya berlangsung. Aku tidak tahu kenapa pacarnya setega itu meninggalkan dia. Aku menangis bukan hanya karena dia ditinggal begitu saja oleh pacarnya, tapi aku merasa ada setumpuk penyesalan dan sesuatu yang mengganjal dalam hati aku. Aku menangis tapi aku tidak menceritakannya kepada dia. Memang sudah beberapa kali dia menawarkan diri untuk mengantar aku kuliah ataupun hanya sekadar jalan-jalan kalau aku lagi bosan. Tapi aku selalu menolaknya, aku takut. Akhirnya aku takluk, aku mau menerima ajakannya untuk mengantarku ke kampus. Kampusku tidak terlalu jauh dari tempatnya bekerja, katanya. Suatu hari, dia benar-benar sudah ada di depan rumahku. Rasanya tidak karuan, seperti senang, ragu, takut, girang, cemas bergabung jadi satu rasa. Entah apa namanya. Daripada aku kesiangan, aku buru-buru menghampirinya. Kami mengobrol sebentar, canggung sekali. Dia sangat rapi dengan kemejanya. Ya Tuhan, dia lebih ganteng dari fotonya di jejaring sosial itu. "Kamu Sabrina?" sapanya. "Iya. Kamu pasti Berry." "Yap. Kamu bener. Kamu cantik ya, lebih cantik dari foto kamu." "Makasih :) Ayo kita berangkat. Keburu siang." "Aku emang udah kesiangan." jawabnya. "Ya ampun, maafin aku." "Iya, ga apa-apa. Santai aja." Kami pun langsung berangkat. Di jalan, tidak ada sepatah kata pun terucap. Aku serasa dekat dengannya, nyaman sekali, seperti ada malaikat pelindung disampingku. Ah...aku tidak boleh begitu. Baru kali ini aku bertemu dengannya. *** Pertama bertemu, kedua kali, ketiga kali dan seterusnya kami bertemu. Ada harapan dia menjadikanku pacarnya, tapi tidak mungkin. Sepertinya dia masih sayang dengan pacarnya yang dulu. Ah...sudahlah. Dia sering main ke rumah kalau sedang weekend ataupun libur. Mama dan papa juga sepertinya sudah akrab dengan Berry. *** 25 Maret, hari Sabtu Berry mengajakku makan malam, sebenarnya kami pergi sore hari. Jalan-jalan dulu sebelum makan. Biasanya mama dan papa tidak mengizinkan aku keluar malam-malam. Tapi Berry minta izin dan entah apa yang mereka bicarakan, akhirnya mama dan papa mengizinkan aku pergi malam itu, dengan syarat tentunya. Kami makan di sebuah tempat makan yang sederhana tapi nyaman sekali. Indah sekali tempatnya, aku baru tahu kalau ada tempat makan ini di kotaku. Sepertinya aku sudah menyatu dengan tempat ini.Kami memesan makanan, Berry sih yang memesankan untukku, aku bingung mau makan apa. Terserah Berry saja. Selesai makan, kami tidak langsung pulang. "Kamu inget tempat ini, Bi?" Berry mulai bertanya. "Aku ga tau tempat ini. Aku baru pertama kesini, tapi aku suka tempat ini, bikin nyaman. Kamu sering kesini?" "Dulu aku sering kesini. Dengan pacarku yang pernah aku ceritakan padamu, Bi. Kamu masih inget kan ceritaku?" "Iya. Aku inget." jawabku, aku tidak mau mendengar tentang pacarnya itu. "Kamu tau. Dia sangat suka tempat ini dan makanan yang kamu makan tadi adalah makanan kesukaannya. Dia juga suka sekali duduk disini. Aku duduk disini dan dia duduk ditempat kamu." Aku tidak mau mendengar cerita itu Ber, pekikku dalam hati. "Aku sayaaaang banget sama dia. Aku belum pernah cerita ya kenapa dia ninggalin aku?" tanya Berry. Aku menggelengkan kepala dan dia meneruskan ceritanya. "Dua tahun lalu, kami merencanakan pertunangan kami. Aku udah persiapin semuanya. Tapi sehari sebelumnya, dia kecelakaan. Parah banget. Aku selalu nemenin dia di rumah sakit sampai-sampai aku hampir dipecat dari kerjaanku. Aku rela untuk menggantikan posisinya terbaring lemah di tempat tidur. Tapi Tuhan tidak mengizinkan itu. Sudah lebih dari seminggu dia koma. Suatu hari, dia siuman. Tapi dia tidak ingat aku, sedih rasanya. Tapi untunglah, dia masih ingat kedua orang tuanya. Aku selalu mencoba mengembalikan ingatannya tentang kami. Aku selalu menceritakan tentang pertunangan ini. Tapi dia tidak pernah ingat, bahkan selalu mengusirku dan menganggap aku orang gila." "Tunggu, sepertinya aku tau siapa perempuan itu.". Berry meneruskan ceritanya dan tidak menggubris omongan aku. "Aku hampir menyerah. Orang tuanya pun menyuruh aku untuk menjauhi dia dulu. Mungkin dia masih bingung dengan aku. Dia amnesia sebagian. Aku bingung. Aku ga berani ke rumahnya meskipun aku selalu menanyakan keadaannya kepada orang tuanya. Untungnya orang tuanya baik banget. Aku udah dianggap anak di keluarga itu. Aku mencari semua informasi tentang dia karena nomor handphone-nya udah ganti. Akhirnya aku nemuin namanya di jejaring sosial, aku pura-pura berkenalan dengan dia. Dia masih saja tidak ingat sama aku. Aku berusaha dan terus berusaha supaya dia bisa mengingat aku." Air mataku jatuh tiba-tiba. Tuhan, jangan biarkan aku menangis di hadapan Berry. "Kamu tau Bi? Hari ini, dua tahun yang lalu, aku berniat melamar dia." "Sekarang dia kemana?" tanyaku. "Bi, kamu mau jadi tunanganku?" Sontak aku kaget, "kenapa kamu mau melamar aku? Kita kan baru kenal." "Bi, kamu tau perempuan yang dari tadi aku bicarakan? Perempuan itu kamu, Bi. Terserah kamu mau bilang aku gila. Tapi aku tau, kamu pasti masih ingat tentang cerita itu meskipun sedikit. Bi, aku mohon. Kamu mau menjadi tunanganku?" "Tapi..." "Aku tau, Bi. Kamu ga mau kan? Aku menyerah untuk buat kamu ingat tentang kita." "Berry, aku mau ngomong. Ya, aku ga tau aku pernah hilang ingatan. Aku ga tau aku pernah mau bertunangan dengan seseorang. Aku tidak bisa mengingat semua itu. Aku tidak tau kamu bohong atau tidak. Tapi, aku ga bisa bohong sama perasaanku. Aku sakit waktu kamu cerita semua tentang perempuan itu. Bodohnya perempuan itu kalo ga mau nerima pertunangannya dengan kamu. Berry, aku sayang kamu. Ga tau sejak kapan aku sayang kamu. Pertama bertemu di dunia maya, aku ngerasa aneh sama kamu. Kamu tau hampir semua tentang aku. Aku bingung. Dan Ber, aku mau jadi tunangan kamu." Cincin pun bertaut di jari manis. "I'll marry you soon, Bi." [caption id="attachment_197699" align="alignnone" width="300" caption="source"][/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun