Impor merupakan kegiatan membeli barang dari luar negeri, umumnya untuk impor ini dikenakan tarif yang berfungsi untuk meningkatkan investasi, meningkatkan daya saing, dan mengurangi hambatan perdagangan. Tarif impor di Indonesia sudah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 49/PMK.010/2018. Tetapi tarif ini mulai tidak berlaku pada negara-negara yang bekerja sama dengan Indonesia dalam perjanjian sebagai wilayah free trade (wilayah bebas perdagangan).
Free Trade merupakan sebuah politik perdagangan yang mengatasi impor dan ekspor tanpa menggunakan tarif atau jenis pungutan lainnya, seperti quotas atau subsidi. Indonesia sendiri telah menyetujui perjanjian bebas perdagangan antar negara ASEAN atau yang disebut dengan AFTA (ASEAN Free Trade Area). Perjanjian ini mencakup 10 negara di Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Laos, Vietnam, Kamboja, dan Myanmar. Perjanjian ini diharapkan untuk dapat mengurangi hambatan perdagangan dan memperluas kesempatan bisnis produsen-produsen di negara anggota ASEAN dengan mengurangi atau bahkan meniadakan tarif impor sehingga dapat meningkatkan hasil produksi.
Meskipun free trade ini terlihat sebagai kesempatan yang bagus untuk para produsen tetapi fakta di lapangan mengatakan lain. Dengan adanya free trade ini membuat banyak produk asing khususnya produk dari negara Asia Tenggara lain yang masuk ke Indonesia, hal ini membuat persaingan antara produk lokal dengan produk mancanegara semakin ketat. Banyak produk lokal kita yang tidak dapat bertahan di tengah pasar yang ketat ini. Masyarakat kita sebagai konsumen juga menjadi lebih memilih untuk membeli produk asal luar negeri ketimang produk dalam negeri dengan dalih terlihat lebih bergengsi dan juga harga yang tidak beda jauh dari produk dalam negeri. Hal inilah yang membuat banyak produsen dalam negeri yang mengalami kerugian besar-besaran karena usahanya yang tidak laku dan terancam tutup usaha apabila tidak dapat berinovasi untuk bersaing dengan produk asing yang masuk.
Selain dari Free Trade Agreement (FTA) ancaman untuk pasar lokal dari luar negeri sendiri juga didapat dari impor ilegal dalam bentuk jasa titip atau yang lebih dikenal dengan jastip. Mekanisme dari jastip sendiri adalah proses pembelian barang dari luar negeri dilakukan oleh satu orang dan pengirimannya dilakukan melalui bagasi milik orang tersebut yang telah disediakan oleh maskapai penerbangan. Barang-barang dalam bagasi ini umumnya sudah dilepas tag harganya dan juga sudah dibawa tanpa kardus maupun tas belanja sehingga terlihat seperti barang milik pribadi dan para konsumen dari jastip ini umumnya menghindari membayar biaya bea masuk dan pajak impor. Terdapat banyak kasus dimana para pemilik usaha jastip ini melakukan manipulasi pada bagasinya sehingga bagasi tersebut melampaui berat yang sudah ditetapkan oleh maskapai penerbangan. Hal ini selain merugikan negara juga merugikan maskapai dan membahayakan keselamatan penumpang.
Maraknya jastip yang saat ini menguasai pasar umumnya merupakan jastip untuk barang-barang yang berasal dari negara seperti Thailand dan Singapura untuk wilayah Asia Tenggara, padahal di wilayah Asia Tenggara sendiri sudah memberlakukan free trade dengan tarif yang lebih rendah tetapi masih banyak konsumen yang tidak mau untuk membayar tarif ini. Selain dari Thailand dan Singapura, jastip ini memiliki destinasi lain seperti negara-negara di Asia Timur, Eropa, bahkan Amerika Serikat yang mana semakin jauh jangkauan jastip ini aka biaya atau fee dari jastip tersebut akan semakin mahal, mulai dari ratusan hingga jutaan rupiah, tetapi nominal ini jelas lebih murah dibandingkan jika harus membayar bea masuk maupun pajak.
Jastip sebagai kegiatan impor ilegal ini sangat berdampak buruk bagi pasar lokal dan juga produsen lokal. Selain itu juga mengancam negara karena dari setiap barang impor yang seharusnya dikenakan biaya pajak, menjadi tidak dikenai pajak karena dianggap sebagai barang milik pribadi dan ini merugikan pendapatan nasional dari pajak barang impor. Dengan tidak dikenakan pajak ini, maka barang-barang jastip cenderung memiliki harga yang lebih murah dibandingkan dengan harga retail perusahaan yang menjual barang impor sesuai dengan alur pembayaran pajak yang telah ditetapkan dan hal ini lah yang membuat konsumen dalam negeri kita cenderung lebih memilih untuk membeli produk asing hasil dari jastip. Contohnya adalah barang-barang dari merk terkenal yang memiliki toko dan lisensi resmi untuk berdagang di Indonesia memiliki harga yang cenderung lebih mahal dibandingkan dengan harga di negara asalnya karena menyesuaikan dengan pembayaran pajak impor dan juga pajak toko tetapi barang yang sama apabila dibeli melalui jastip akan memiliki harga yang jauh lebih murah karena tidak membayar pajak dan jastip sendiri umumnya tidak memiliki toko resmi dan hanya berdagang melalui e-commerce.
Pemerintah Indonesia sendiri sudah mulai memberikan upaya untuk mengurangi dampak negatif dari Free Trade Agreement (FTA) dan juga jastip ini. Upaya tersebut antara lain:
1. Â Industri Kecil dan Menengah (UMKM): Pemberdayaan ini menjadi salah satu upaya pemerintah untuk mengurangi kesulitan yang dihadapi oleh UMKM dalam mengurusi keuangan, mengelola perjanjian, dan memasuki pasar internasional. Pemberdayaan ini antara lain adalah pemberdayaan informasi, jaringan, keuangan, dan hukum.
2. Tarif Bea Masuk: Pemerintah Indonesia juga mengatur tarif bea masuk untuk melindungi pasar lokal. Contohnya pada saat 2020 dengan ditandatanganinya ASEAN-Hong Kong Free Trade Agreement (AHKFTA) pemerintah langsung menetapkan tarif bea masuk.
3. Pemberdayaan Masyarakat: Pemerintah Indonesia juga mengembangkan program untuk membantu masyarakat lokal dalam mengembangkan usaha dan memperluas kesempatan kerja. Hal ini diusahakan untuk mengurangi pengangguran di tengah pasar yang sudah mulai didominasi produk asing.
4. Regulasi dan Pengawasan: Pemerintah menerbitkan aturan dan mengatur pengawasan untuk mengurangi jasa titip dan impor ilegal. Contohnya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan memperketat pergerakan par pelaku bisnis jastip barang impor.
5. Pengawasan Pergerakan Barang: Pemerintah mengatur pengawasan pergerakan barang impor yang diterima di Indonesia. Contohnya, pemerintah mengarahkan petugas Bea Cukai untuk memantau pergerakan bisnis sistem jasa titip (jastip) masuk ke Indonesia.
6. Pengawasan Perdagangan Digital: Pemerintah mengatur pengawasan perdagangan digital untuk mengurangi jasa titip dan impor ilegal. Contohnya, Badan Perlindungan Konsumen akan melakukan penguatan pengawasan perdagangan digital dan kelembagaan melalui Badan Perlindungan Konsumen.
Dengan upaya-upaya ini, Pemerintah Indonesia mengharapkan agar dapat mengurangi dampak negatif dari free trade maupun jasa titip. Hal ini juga dilakukan untuk melindungi pasar lokal dari ancaman monopoli barang-barang luar negeri agar tidak semakin merajalela.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H