Ketika pasangan anda menuntut cinta dari anda, yang dia maksudkan adalah anda harus mencintainya tanpa syarat. Anda harus menerima segala hal tentang dirinya apa adanya. Anda harus menyukainya walaupun dia memiliki banyak kekurangan. Pertanyaanya sekarang, Apakah hal tersebut normal dan sehat? Bagaimana jika kekurangan yang dia minta untuk diterima itu bertentangan dengan logika, agama serta moral?
Karena cinta yang dituntut oleh kebanyakan orang adalah cinta seperti diatas itu, maka siapapun yang menurutinya, berarti dia mencintai seseorang dengan cara membabi-buta.  Pada saat itu dia telah menjadi buta dan bodoh (tidak sampai menjadi babi, hehehe). Manusia biasa tidak berhak mendapatkan cinta sebesar itu. Yang boleh dicintai tanpa syarat hanya tuhan dan nabi.
Cinta tidak disebut secara eksplisit dalam panduan memilih orang yang hendak kita nikahi. Yang pertama kali harus dijadikan pertimbangan adalah akhlak orang yang hendak kita nikahi (Addiinu al khuluqu). Kemudian menyusul kriteria lain. Meskipun banyak ikhtilaf mengenai ta'rif cinta, tapi kebanyakan orang memahami bahwa cinta itu menuntut pengorbanan. Nah, atas dasar apakah seseorang itu seharusnya berkorban? Apakah rasa suka yang menggebu-gebu terhadap lawan jenis membenarkannya untuk mengorbankan sesuatu yang sangat berharga? Bagaimaa jika "cinta" dan tindakannya itu tidak sesuai dengan logika, agama serta nilai-nilai moral?
Tuntutan untuk dicintai dan diterima apa adanya bisa menjadi sesuatu yang sangat salah dari berbagai sudut pandang. Manusia diwajibkan memperbaiki diri setiap saat. Barang siapa yang "maqomnya" hari ini sama dengan hari kemarin, dia adalah orang yang rugi dan jika lebih buruk dari kemarin, maka dia adalah orang yang celaka. Kita tidak boleh meminta untuk selalu diterima dan difahami, kita harus memperbaiki diri. Itu adalah kewajiban agama.
Jangan pernah meminta orang lain untuk menerima keburukan anda. Jangan marah kalau orang lain tidak bisa menerima kekurangan anda. Karena kitalah seharusnya yang harus merubah "maqom" kita, bukan menyuruh orang untuk beradaptasi dengan kejelekan dan kekurangan kita. Tentu saja perubahan yang kita lakukan dan perbaikan diri itu bukan untuk tujuan agar diterima orang lain. Tujuannya haruslah murni perbaikan akhlak agar diridhoi tuhan. Jika kemudian orang lain menyukainya, itu hanyalah bonus.
Nasihat untuk "menjadi diri sendiri" dan tidak terpengaruh penilaian orang lain haruslah difahami secara bijak. Nasihat itu tidak pernah dimaksudkan untuk seorang penipu agar tetap menjadi penipu. Nasihat itu mendorong kita untuk mengembangkan potensi khas yang kita miliki agar bermanfaat utuk diri kita dan orang lain dengan cara yang kita rasa nyaman untuk kita terapkan pada diri sendiri. Bukan berarti boleh melakukan apa aja untuk melayani ego kita sehingga mengorbankan kepentingan dan ketertiban umum.
Apakah berusaha menirukan orang lain itu buruk dan salah? Tidak. Justru kita harus selalu melihat para panutan dan idola untuk diikuti dan ditiru kebaikannya. Kaum muslimin dianjurkan untuk melihat Muhammad sebagai role model untuk diteladani. Jemaat gereja harus menjadikan Jesus sebagai panutan. Abdullah bin Umar sangat terobsesi dengan Muhammad saw sehingga dia berusaha meniru segala tingkah lakunya, bahkan sampai cara berjalannya pun meniru Muhammad saw. yang dilakukan oleh Ibnu Umar ini bukan tindakan yang tercela, justru merupakan kemulyaan.
Maka nasihat saya dalam hal ini adalah:
Jangan jadi diri anda sendiri kalau itu berarti menjadi pribadi yang rusak dan berakhlak buruk. Tirulah orang lain jika itu menjadikan anda seorang pribadi yang baik, berakhlak dan bermanfaat untuk diri sendiri dan kemanusiaan.
Kembali kepada masalah "cinta" tadi, Sekarang kita memiliki gambaran yang jelas mengenai kapan kita boleh berkorban demi sesuatu serta kapan kita tidak boleh menerima dan memaklumi sifat-sifat tercela dari kekasih kita. Cinta tanpa syarat kepada kekasih adalah perasaan impulsiv yang didorong oleh naluri kebinatangan kita. Kita dan binatang sama-sama memiliki instinc. Namun berbeda dengan manusia, binatang tidak memiliki akal. Instinc dan naluri kebinatangan melahirkan selera dan citarasa. Selera dan citarasa itu bisa menjadi positif jika dia berkesesuaian dengan standard akal sehat, agama dan moral.
Tindakan dan pengorbanan yang didasarkan hanya pada perasaan kebinatangan yang menggebu-gebu adalah kesalahan dan merupakan bentuk pengkhianatan terhadap nilai kemanusiaan yang lurus. Ia merupakan sikap dan tindakan yang mereduksi kemanusiaan kita dan menurunkannya kepada derajat kebinatangan. Pada dasarnya manusia memanglah binatang yang bisa bicara dan berakal (Alhayawaanu L'naatiq). Bicara dan berakal itulah yang membedakan kualitas manusia dan binatang. Jika akal itu ditinggalkan dan dikalahkan oleh naluri kebinatangan, maka otomatis derajatnya akan turun.