Bali selalu menjadi tempat di mana keindahan alam dan budaya berpadu dalam harmoni sempurna, tetapi ada sebuah desa di Gianyar yang menyimpan keunikan lebih dari sekadar panorama eksotis. Berlokasi di Jalan Raya Batuan, Sukawati, Desa Wisata Batuan adalah sebuah destinasi yang menawarkan pengalaman berbeda. Desa ini bukan hanya tentang menikmati pemandangan, tetapi juga menyelami jiwa seni dan budaya Bali yang telah bertahan lebih dari seribu tahun. Menginjakkan kaki di sini seperti membuka lembaran buku sejarah yang penuh warna, dihiasi kisah seni, spiritualitas, dan kehangatan masyarakat lokal. Satu hal yang membuat Desa Batuan begitu istimewa adalah keberhasilannya menjaga seni tradisional tetap relevan tanpa kehilangan esensinya. Dari seni lukis gaya Batuan yang detail dan bernilai tinggi hingga tarian tradisional yang sarat makna, semuanya dirancang untuk memberikan pengalaman unik bagi setiap pengunjung. Desa ini menjadi ruang bagi wisatawan untuk merasakan harmoni antara masa lalu dan masa depan Bali.
Perjalanan saya di Desa Wisata Batuan dimulai di Puspa Aman, sebuah tempat berkumpul yang memancarkan ketenangan khas pedesaan. Angin sepoi-sepoi membawa aroma khas rempah-rempah Bali, membuat makan siang saya terasa lebih dari sekadar hidangan biasa. Menyantap ayam betutu yang lembut, lawar yang gurih, dan sambal matah yang pedas segar, saya seperti diajak mengenal Bali melalui rasa. Suasana di sini begitu nyaman, dengan pemandangan hijau yang menenangkan jiwa.
Setelah puas menikmati makan siang, saya melanjutkan ke kelas melukis gaya Batuan. Kegiatan ini ternyata jauh lebih seru dari ekspektasi saya. Di bawah bimbingan seorang pelukis lokal yang sabar, kami memulai dengan membuat goresan tinta sederhana. Tahap demi tahap, saya diajari menambahkan detail khas yang menjadikan lukisan Batuan begitu istimewa. Setiap goresan kuas terasa seperti meditasi, membuat saya benar-benar tenggelam dalam proses kreatif ini. Ada momen di mana saya berhenti dan tersenyum melihat hasil coretan saya sendiri. Jujur, hasilnya jauh dari sempurna, tetapi ada rasa bangga yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Membawa pulang karya buatan tangan sendiri menjadi salah satu kenang-kenangan paling bermakna dari perjalanan ini.
Daya tarik berikutnya membawa saya ke Pura Puseh Batuan, sebuah pura kuno yang telah berdiri sejak tahun 1002 Masehi. Pura ini tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga simbol spiritualitas Bali yang kaya akan nilai-nilai luhur. Arsitektur pura yang menggabungkan gaya Majapahit dan Bali menghadirkan suasana sakral sekaligus megah. Berdiri di depan gapura megahnya, saya merasakan aura magis yang seolah membawa saya ke masa lalu. Di dalam pura, prasasti-prasasti kuno dan ukiran detail menjadi saksi bisu perjalanan panjang budaya Bali. Suasana pura yang tenang memberi saya kesempatan untuk merenung dan merasakan kedamaian di tengah hiruk-pikuk kehidupan.
Desa Wisata Batuan adalah contoh nyata bagaimana pariwisata bisa menjadi sarana pelestarian budaya sekaligus pemberdayaan komunitas. Desa ini berhasil menciptakan pengalaman wisata yang tidak hanya menarik, tetapi juga bermakna. Saya juga kagum dengan kiprah Ari Anggara, Kepala Desa termuda di Bali, yang membawa Desa Batuan masuk ke dalam 300 Desa Wisata Terbaik Indonesia 2024.Komitmennya untuk memajukan desa terlihat dari cara kegiatan wisata dikemas dengan rapi dan terorganisir, memberikan pengalaman yang benar-benar berkesan bagi setiap pengunjung. Pengalaman ini meninggalkan kesan mendalam bagi saya. Batuan bukan hanya destinasi, tetapi sebuah ruang untuk belajar, merasakan, dan menghargai warisan budaya yang kaya. Jika ada satu hal yang saya bawa pulang selain lukisan dan gerakan tari sederhana, itu adalah rasa syukur dan inspirasi untuk terus melestarikan budaya di mana pun saya berada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H