[caption id="attachment_266655" align="aligncenter" width="576" caption="Gambar Ilustrasi oleh Inge "][/caption] Ya Allah, apa yang kurasa hanya aku yang tahu. Rasa sesak, sakit, nyeri akibat luka hati yang tak seharusnya kualami membuatku luluh lantak. Bukan aku bersebab nyeri itu ada, dan bukan pula aku tak tahu akibat yang akan terjadi. Jauh sebelum saat ini, sesungguhnya aku sudah mengeja bahwa perih ini akan menjadi bagian dari hidupku. Konsekwensi dari sebuah pilihan yang telah aku putuskan dalam hidupku, maka siap atau tidak resikonya harus kuterima. Duhai logika rasa, harusnya aku sebagai perempuan dewasa mampu menyelaraskan antara nalar dan rasa. Tetapi nyatanya lagi-lagi nalarku berjalan mengikuti rasa yang jatuh tidak pada tempatnya. Ibarat bibit bunga matahari yang terjatuh di sawah yang subur, manalah bisa aku terlihat indah??. Bunga itu tumbuh dan berkembang tak sebagaimana mestinya, dia tumbuh mengambil hak padi tumbuh yang berkembang dengan segala pesonanya, pada akhirnya tangkainya perlahan tertunduk, kelopaknya perlahan gugur satu demi satu, mati dan membusuk. Akupun mungkin akan bernasib sama dengan bibit bunga matahari, mati tak berguna mempertahankan sesuatu yang selayaknya kulepas dan kuserahkan kepada pemilik sahnya. Bukan aku tak berusaha merobek jaring yang menyelimuti hati dan batinku, bahkan pisau yang paling tajam pun tak mampu membuatku keluar dari kukungan jerat erat sang jaring. Pisau itu malah terbalik melukai, membuat goresan-goresan luka teramat perih tanpa darah. Mematahkan tulang belulangku tanpa pukulan. Katakan padaku, ajian apa yang mumpuni melepaskan aku dari jerat sang jaring? Rasaku tumbuh seperti ilalang liar yang dengan arogannya tumbuh sesubur yang dia mau, padahal aku berusaha mencabut setiap akarknya, membabat setiap tumbuhnya, ooooh Maha.... Tidakkah Engkau melihat setiap usahaku?? Jiwaku lelah! Lelah menangis, lelah berusaha, nistakah pintaku?? Aku hanya ingin cabut setiap ilalang-ilalang liar dalam jiwaku! Biarkan berdarah... Baiarkan perihnya kutahan... Asal aku mampu membabat habis setiap tumbuhnya hingga akarnya. Tapi mengapa Tuhan... Mengapa... Setiap aku berusaha mencabutnya dengan deraan sakit yang luar biasa akarnya bukan tercabut, akar-akar itu makin mencengkeramku kuat, dan makin kuat!?? Oooh Maha.... Tidakkah KAU iba dengan semua usahaku?? Tidakkah KAU lihat aku Kesakitan. Maha Agung pemilik segala Rasa... Taukah KAU... Tiap kali aku dipaksa mengerti dan menerima keadaan, saat itu juga aku harus merelakan bagianku untuk dia. Keiginanku menjadi perempuan dengan segala keperempuananku, manjaku, rapuhku, tangisku, tawaku, celotehku, pelukan hangatku, keinginanku harus kutelan atau kulepas dengan rasa getir menganga. Bukan merelakan sebenarnya, hanya aku tak berdaya melawan sebuah keharusan sebagai wujud konsekwensi pilihanku. Aku harus terbiasa mendapatkan sisa, ya... Walau hanya sisa kadang membuatku bahagia. Bukankah ini adalah pilihanku? Bukankah dia cintaku?? Asal sisa senyumnya masih sedikit saja dia berikan padaku, setiap perihku mendadak luruh, tiap sisa waktunya dia berikan padaku hanya untuk sejenak saja mencium keningku, maka setiap luka kesepianku luruh. maka dalam hatiku selalu kuucapkan syukurku... "Terima kasih Tuhan, Îηî begitu indah..." Dalam tuturku kuucapkan padanya "terimaksih sayang, untuk semua peluk dan hadirmu" Dimana teriakanku sebelumnya?? Dimana sakit yang aku dengungkan sebelumnya?? Dimana setiap keluhku sebelumnya?? Entah.... Entah... Kataku... Semua luruh hanya dalam satu kecupan. Semua kandas hanya dalam lengkung senyumnya... Walau yang kudapat hanya sisa... Hanya sisa kataku....
♥♥♥♥♥♥♥♥♥
Sayangku.... Bukankah sederhana sekali sebuah kebahagiaan untukku?? Hanya senyum dan kecupanmu.. Pucuk-pucuk hati Îηî mendadak bersemi kembali, setiap luka sembilu dari puluhan malamku yang sepi sembuh hanya dalam hitungan detik. Sulitkah pintaku?? Aaah... Maafkan aku sayang... Aku menempatkan hatiku pada hatimu. Maafkan aku sayang... Aku menempatkan hatiku mungkin salah.. Luasnya hatimu tak seharusnya aku paksakan ada hatiku disana. Maafkan aku.... Sayangku... Arti keindahan bagiku adalah saat aku merasa menjadi bagian yang kau inginkan dalam hidupmu. Bagian terbesar dan terpenting dalam hidupku hanya menjadi pendengar setiamu, entah itu kisah bahagia maupun dukamu. Aku bangga saat kau katakan padaku, kau temukan wadah untuk mencurahkan segala rasamu. Sayangku.. Apa yang dapat kuberikan kepadamu sebagai orang yang paling kukasihi? Aku hanya dapat mendengar, dan siapkan pelukku jika kau pinta. Aku bukan perempuan cerdas yang kau harapkan tapi jika aku tak mampu melakukan apapun untukmu, maka biarkanlah aku menangis bersamamu. sayangku... Bagiku mencintaimu itu sudah lebih dari cukup, walaupun aku tahu rasa sakit dan nyeri kerap menghujam hati dan batinku. Aku perempuan utuh dengan hati dan setiap rasa cemburuku yang terkadang bermain disana setiap kali aku sadar, aku tak pernah tahu dimana dirimu berada, aku tahu aku tak berhak memiliki rasa itu. sayangku.. Apakah cintaku buta?? TIDAK sayang... cintaku tak buta. Aku tahu... aku sangat tahu semua konsekwensi luka dan sepiku, aku bahkan tahu pilihan ini adalah pilihan yang teramat bodoh, hanya aku MEMBUTAKAN DIRIKU untuk tidak memilih yang lain, hatimu telah menjadi nadiku, lukaku mencintaimu telah menjadi mahkota bagi hariku. Sayang... Salah atau tidak Pada akhirnya aku hanya bisa katakan Maaf, aku mencintaimu dengan jiwa dan ragaku. Maaf...
♥♥♥♥♥♥♥♥
Desa Rangkat adalah komunitas yang terbentuk berdasarkan kesamaan minat dalam dunia tulis menulis fiksi. Jika berkenan silahkan berkunjung, berkenalan, dan bermain peran dan fiksi bersama kami di Desa Rangkat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H