Langkah Acik gontai, kalau di film – film Bollywood susah pasti ketahuan adegan berikutnya tiang listrik beton itu pasti akan dijadikan sandaran buat Acik dan separuh air matanya tumpah disana. Dengan suara cengkok khas penyanyi india Latta Mangeskhar, kemudian jagat yang terang benderang itu ujug – ujug bakal di guyur hujan, kilatan petir tanpa suara karena bunyi mandolin dan ketipak tipung tabla volumenya lebih tinggi ketimbang suara gledek. Jadilah air mata Acik saling derai dan bercampur dengan air mata langit. Kesedihan Acik masih berjalan tanpa diorama film Bollywood itu, hanya saja air mata Acik memang penuh ketulusan tak seperti adegan menangis sinetron TV Indonesia. Dikelabunya awan dan kepulan asap pembakaran sampah samar – samar keluarlah sosok Mas Bowo. Yang sedang mengabadikan kepulan asap dan bara dari plastik – plastik sampah dengan kameranya. “Jeprat… Jepret…” matanya sesekali memicing bahkan sesekali ia naik pohon krambil demi mendapatkan the best picture. Melalui pohon krambil itulah ia melihat seorang wanita berjalan gontai lunglai menyeret – nyeret raganya. (Menyeret lho…bukan mengesot…) “Acik…” Mas Bowo bergumam,sembari memanjangkan leher pendeknya. Segera kameranya ia sarungkan dalam tas kecil, buru – buru ia turun dari pohon nyiur itu, dan berlari menyongsong Acik yang masih sesenggukan. “Cik, kenapa kamu…?” “Huk… huk… tidak usah pedulikan aku Mas Bowo… kau pun akan merasakan hal yang sama … kalau kau sekarang kerumah Ki Dalang…” papar Acik sambil menyusut ingusnya yang ikut berderai juga. “Devi-mu mas… Devi-mu….” Sambung Acik. Benar Bowo pun bergegas menarik gas motor matic-nya, dan benar – benar tak mempedulikan Acik, padahal Acik berharap ada sedikit simpati dari Bowo paling tidak mengantar ia pulang ga usah sampai ke bandara-lah takut merepotkan atau kejauhan, paling tidak sampai ke rumah Acik di Palembang saja. “Bener – bener pada tega semua ga Mas Bowo, ga Ki Dalang, semua samaaaaa….” Teriaknya membahana lagi, kali ini lebih memekakan telinga tak cuma sampai ke lembah Gunung Naras, tapi ikan – ikan di kali rangkat yang aliranya tenang anteng dan mendamaikan pun kaget sampai loncat keluar dari sungai. Acik menengadah memandang awan yang berarak – arak, dia mencoba mengadukan semuanya pada lukisan Tuhan itu, pada gradasi awan putih dan biru langit yang bertumpuk – tumpuk di awang – awang itu ia berharap duka dan kekecewaanya akan berlalu. Eh… entah halusinasinya saja atau memang matanya sedang di beri sedikit keajaiban Tuhan mendadak awan – awan di mega itu melukiskan wajah seseorang. Pria tinggi, berdada bidang, dengan senyum teduh, terpampang jelas diawan terlihat pixelratenya yang begitu tinggi, membuat detail – detail selembar wajah itu benar – benar jelas, jerawatnya, hidungnya yang berminyak. Tapi, dibalik semua itu Acik mendadak menemukan kedamaian. Jiwanya yang sedetik lalu begitu kering rawan mendadak bak di basuh salju putih yang mencair sampai kejiwanya. Oh… kiranya gleitser cinta itu telah mencair dan mendinginkan hatiku yang panas. Kata “Love” dan hatur nuhun berkali – kali Acik ucapkan sembari menyebutkan nama si pemilik mata teduh itu “Abang Hamal… Oh… Abang Hamal…” “Kiranya baru aku sadar ternyata yang aku butuhkan hanyalah kamu… kamu… kamu… Bang Halim Malik”. Acik pun tersenyum riang, jika harus berjalan menuju Jogja atau Palembang pun bakal sanggup ia jalani. Jika, disana tangan Bang Halim Malik sudah mengembang bak sayap garuda nan gagah, dan didada bidangnya walau pun tak selebar Stadion Utama Gelora Bung Karno, pasti akan bisa menampung 8.000 keluh kesahnya. Kini, langkah Acik tak lagi sempoyongan, ia berlari – lari kecil bak anak – anak gadis yang sedang bergembira dengan baju barunya. Acik, sudah tak peduli lagi dengan polah Dalang dambaanya yang kagodo wanodyo si gadis berkaca mata Devi penjual jamu gendong yang sedang naik pohon. (naik daun kesanya seleb banget heheheh…) Bang Hama... Acik mulai bermain dengan imajinasinya, ada jentik-jentik kecil yang menggelitik entah apa itu. Ahhh... ada apa dengan rasa yang dia punya. membuatnya tersenyum, membuatnya menggelinjang geli. Ahahahahhaa..... "Haloo" Suara Hama saat menerima telpon Acik "Bang Hamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.... uwaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa... acik kangeeeeeeeeeeeeeeeeeeennnn... Dari tadi ingin lihat bang hama, yach... biar saja biar hanya lihat Foto abang di Face book tak apa. yang penting acik bisa memandangmu. tapi siaaaaaaaaall.... Inetnya lagi Lambreeeeettaaaaaaaaa.... " "Hmmm.... belajar bersyukur cik, dirimu rindu masih bisa ungkapkan kata rindumu, banyak yang tak bisa ungkapkan, bukankah itu lebih sakit??" "Abaaaaaaaaang, benar sich... tapi acik sakit dengan bara rindu yang menumpuk di dada, acik tak bisa matikan pijarnya, ratusan kali berusaha dinginkan, tapi nyalanya makin membara, acik takut bang... acik takut dengan rasa ini :( " "Mengapa takut?" "Acik.... acik.. aahh... " "Hei, katanya rindu... kalau rindu mengapa sekarang diam?? " "Hehehe... ya udah Bang... makasih udah terima telp Acik... " "Hmm... Ok " Uffffffttt.... Acik berusaha sedikit padamkan bara rasa dalam hatinya. biarpun selalu gagal. Bang Hama, mengapa kau tak pernah mengerti, aku selalu kehilangan kata saat aku benar-benar bersamamu, semua potongan kata yang sudah tersusun semburat entah ke mana. Dimana liarku?? dimana celotehku??
Seperti titipkan desah pada Diafragma
begitu kutahan sepihan rindu
Seperti menghalau udara di Ruang kamarku
Mustahil kau lepas dari anganku
seperti nyanyian pagi burung-burung kecil di pucuk-pucuk cemara
Begitu ribuan celoteh rindu menggema di Ruang hati
Sayang! Rinduku mandul!
Tak Berbuah!
Ooooohh Maha, Suburkan kantung Rinduku...
Biar Alam siangi benihnya..