2016 silam Indonesia diramaikan dengan salah satu kebijakan kontroversial dari pemerintah yakni mengenai sistem zonasi sebagai sistem seleksi untuk masuk ke sekolah. Penerapan sistem zonasi ini dimulai pada tahun 2017. Nyatanya banyak sekali pro dan kontra dalam penerapan sistem ini. Demo-demo dari orang tua dan aktivis pendidikan pun banyak terjadi di berbagai tempat dan media sosial karena menurut mereka sistem zonasi ini belum bisa diterapkan di Indonesia karena sarana dan prasarana tiap sekolah belum rata. Salah satu tujuan utama sistem zonasi adalah untuk memastikan bahwa semua siswa memiliki akses yang sama ke pendidikan, mengurangi ketimpangan, dan mendorong kualitas sekolah yang merata. Namun, karena berbagai kesulitan yang terkait dengan implementasinya, perdebatan tentang penghapusan sistem ini masih berlanjut. Kita sebagai mahasiswa dan jelas sudah merasakan dari sistem zonasi ini jelas memiliki hak untuk berpendapat terhadap sistem zonasi ini.
   Banyak mahasiswa yang mempunyai pandangan kritis terhadap masalah penghapusan sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) karena mereka menyadari pentingnya pendidikan untuk pembangunan negara. Dalam fase transisi, sistem zonasi, yang pada awalnya dimaksudkan untuk membuat akses pendidikan menjadi lebih demokratis, menghadapi kritik keras dari berbagai bagian masyarakat. Meskipun sistem zonasi bertujuan untuk menjamin keadilan, tetapi nyatanya sistem ini tidak memperhitungkan ketimpangan struktural yang ada sejak lama. Karena kualitas pendidikan yang tidak merata di berbagai daerah, zonasi seringkali menjadi alat yang menegaskan ketidaksetaraan. Siswa yang tinggal di dekat sekolah berkualitas rendah akan tetap mendapatkan pendidikan yang buruk. Dari sudut pandang Mahasiswa, ini menunjukkan kegagalan pemerintah untuk menyelesaikan masalah utama yang berkaitan dengan kesetaraan pendidikan. Kita juga pernah mengalami sistem seleksi seperti ini tahu bahwa zonasi sering membuat orang tua dan siswa tertekan. Karena mereka tidak dapat memilih sekolah yang sesuai dengan kemampuan dan potensi mereka, banyak siswa berprestasi merasa dirugikan. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan ini belum memahami sepenuhnya keinginan siswa.
   Jika sistem zonasi dihapus tanpa ada solusi alternatif yang jelas, pendidikan bisa kembali ke era seleksi berbasis nilai murni, seperti yang diinginkan siswa yang berfokus pada analisis kritis. Siswa dari keluarga yang mampu akan lebih dominan jika mereka memiliki akses ke bimbingan belajar dan fasilitas pendidikan tambahan, yang merupakan konsekuensi dari pilihan berbasis nilai ini. Oleh karena itu, ketimpangan pendidikan semakin meningkat.
 Selain itu, tanpa reformasi sistem pendidikan yang mendasar, zonasi akan dihapus dan sekolah-sekolah unggulan akan kembali menjadi "pusat elitis", sementara sekolah-sekolah di wilayah marginal akan semakin terpinggirkan. Kami mahasiswa melihat ini sebagai pengkhianatan terhadap prinsip pendidikan universal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H