[caption id="attachment_200080" align="alignleft" width="300" caption="Dalam pergaulan, kita terbiasa menggunakan bahasa percampuran yang tidak tertata dengan baik dan benar."][/caption] “Hai guys, kembali lagi bersama kami di Selamat Begi,“ begitu sapaan para penyiar radio di pagi hari. Tatkala terdengar bunyi tanda pesan masuk di telepon genggam. Seorang teman mengingatkan acara arisan yang akan diadakan sore hari nanti. “hei jeung, inget yah jam 4 sore nanti ada arisan di rumah mamah Rini. Dress code-nya bebas yang penting okay! xoxo.”
Dalam pergaulan sehari-hari, saya yakin banyak orang yang menggunakan bahasa percampuran secara sengaja atau tidak. Misalnya, kita terbiasa menggunakan kata “loe” sebagai pengganti kata “kamu” dan “gue” untuk “saya”. Bahkan, tak jarang kita mencampurkan dengan bahasa asing, agar terkesan lebih hebat dan keren. Bahkan, kini banyak anak berumur 5-7 tahun sudah lancar berbahasa asing namun tak mampu berbicara bahasa Indonesia. Terdengar hebat, tapi kemudian prihatin dengan nasib bahasa bangsa.
Lambang Nasionalisme
Menilik sejarah bangsa, Bahasa Indonesia bukanlah bahasa yang turun dari langit! Ia lahir dari gagasan-gagasan dan semangat para pemuda Indonesia, jauh sebelum proklamasi kemerdekaan.
Pada 16 Juni 1927, terjadi kegaduhan dalam sidang Volksraad (Dewan Rakyat). Untuk pertama kalinya dalam sidang itu menggunakan bahasa Melayu. “Saat itu tidak lazim anggota Voolksraad yang berasal dari kalangan bumi putera menyampaikan pidatonya dengan bahasa Melayu (Indonesia)”, begitu situasi yang digambarkan oleh Azizah Etek dalam buku Kelah Sang Demang Jahja Datoek Kajo (2008).
[caption id="attachment_200077" align="alignleft" width="240" caption="Demang Jahja Datoek Kajo, si Jago Bahasa Indonesia di Volksraad (sumber: hikayatserat.wordpress.com)"]
Barangkali Jahja terinspirasi pada sikap Haji Agus Salim, ia pun menyentil para anggota lainnya di sidang selanjutnya pada tanggal 22 Juni 1927,“Saya berharap pada tuan-tuan yang hadir dalam Diwan Rakyat ini mau menyela pembicaraan saya. Dengan hormat saya minta supaya dilakukan dengan bahasa Melayu”(Azizah, 2008:31).
Pada suatu sidang, tanggal 30 Juni 1928, seorang wakil pemerintah Belanda menjawab dengan Bahasa Belanda dan menyertai dengan embel-embel jika tidak mengerti harap bertanya kepada Mochtar (anggotanya). Bukan berarti Jahja tidak bisa berbahasa Belanda, namun ia menolak menggunakannya, karena ingin menunjukkan nasionalismenya. “Pembicaraan saya didalam sidang Majelis Diwan Rakyat saya lebih suka didalam Bahasa Indonesia, karena saya sendiri seorang Indonesioner” (Azizah, 2008:32).
Kebanggaannya sebagai seorang Indonesia, ia wujudkan dengan menggunakan bahasa Indonesia, di kala diskriminatif terhadap orang pribumi masih begitu tinggi. Koran-koran pribumi pun menjulukinya, “Jago Bahasa Indonesia di Volksraad.” Seandainya Jahja masih hidup, mungkin ia akan menyentil generasi penerusnya yang lebih suka menggunakan bahasa asing.
Setahun kemudian, tepat pada Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928, kumpulan pemuda dari berbagai himpunan pemuda berkumpul di Gedung Indonesische Clubgebouw. Pada hari itu, mereka merumuskan gagasan-gagasan penting, yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda. Salah satu tokoh pemuda yang bernama Muhammad Yamin, menetapkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Persatuan. “Kami poetra poetri Indonesia mendjundjung bahasa persatoean, bahasa Indonesia.”
[caption id="attachment_200081" align="alignleft" width="443" caption="Gambaran Situasi Kongres Pemuda II, dimana lahir ikrar atau Sumpah Pemuda. (sumber: niadilova.blogdetik.com)"]
Tabrani yang seorang wartawan dan Pemimpin Redaksi Hindia Baroe sudah sejak lama mengusulkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Dalam rubrik “Kepentingan” pada 11 Juni 1926, ia menyatakan “bahasa adalah satu-satunya jalan untuk menguatkan persatuan Indonesia”, dan untuk itu diperlukan satu bahasa “yang lambat laun akan diberinya nama bahasa Indonesia.”
Semangat para pemuda berapi-api, meski pemerintah kolonial menganggap hal itu biasa saja. Bahkan, Van Der Plaas, seorang pejabat kolonial meremehkan gagasan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, mengingat pada saat sidang para anggota seringkali menggunakan bahasa Belanda atau daerah.
Namun, sang pemimpin sidang Soegondo berusaha menggunakan bahasa Indonesia dalam sidangnya meski tampak kesulitan. Begitu pula Siti Soendari, salah satu pembicara dalam Kongres Pemuda II. Usai dua bulan Kongres Pemuda II, ia mulai menggunakan bahasa Indonesia.
Meski Indonesia belum merdeka, para pemuda menyadari akan pentingnya menyatukan bangsa, manakala terbagi oleh beragam suku dan budaya. Dengan menyatakan dan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, mereka berani menunjukkan identitas dan rasa cinta terhadap bangsa. Sebaliknya, berbeda dengan pemuda sekarang, lebih bangga dan merasa hebat berbahasa asing.
Seiring dengan berkembangnya kemajuan teknologi dan perubahan generasi, semangat menjunjung bahasa Indonesia terasa luntur. Bayangkan, banyak siswa SMA yang gagal dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia saat ujian nasional tahun 2011 lalu. Di tingkat Perguruan Tinggi, peminat Fakultas Sastra Bahasa Indonesia seringkali lebih rendah dari Fakultas atau jurusan lainnya.
Hal ini begitu mengkhawatirkan! Pada umumnya, Bahasa itu hidup. Ia turut berkembang mengikuti waktu dan jaman. Misalnya, pada tahun 2007, saat internet ‘menjamur’ di Indonesia, muncul kata “unduh” yang kita kenal sebagai terjemahan dari “download”, padahal kata itu tidak populer pada tahun 1960-an. Namun, bahasa Indonesia mempunyai kelemahan. Ia tak mampu menyerap dengan cepat istilah-istilah asing yang beredar.
Hal ini terjadi karena adanya beberapa faktor, di antaranya, kurangnya publikasi sastra bahasa Indonesia maupun buku-buku terjemahan bahasa asing ke bahasa Indonesia, budaya literasi atau membaca masyarakat Indonesia yang rendah, penggunaan kosa kata bahasa Indonesia yang belum maksimal pada media kita.
Media selayaknya hadir di tengah masyarakat karena memiliki peran dan fungsi yang penting dalam perluasan penggunaan bahasa. Peran media dalam menyebarluaskan bahasa telah diemban jauh sebelum Indonesia merdeka. Sayangnya, tak sedikit media yang lupa pada posisinya demi mencari sensasi dan rating. Misalnya, singkatan “markus” yang merujuk pada makelar kasus, sempat populer di berita-berita media massa. Padahal, Markus sebenarnya adalah salah satu tokoh dan nama injil dalam kitab suci Nasrani.
Budaya baca juga penting terhadap kualitas penggunaan bahasa. Berdasarkan hasil survei Progress International Reading Literacy Study (PILRS) pada tahun 2006, tingkat literasi Indonesia berada di posisi 41 dari 45 negara, atau empat tingkat lebih baik dari Afrika Selatan. Litbang Kompas mencatat, yang pertama kali menulari kebiasaan membaca buku berasal dari diri sendiri (58,1%), baru kemudian orangtua. Mayoritas penduduk pun tak memiliki anggaran khusus untuk membeli buku (baca: “E-book”: Antara Ancaman dan Asa).
Adapun, di kala minat masyarakat membaca buku tinggi, namun fasilitas perpustakaan sangat minim (baca : Minat Baca Siswa Tinggi, Perpustakaan Minim). Ketimbang Malaysia dan Thailand, produksi buku di Indonesia memang lebih besar, yakni mencapai lebih dari 2000 buku per bulannya (Ikapi, 2009). Namun, hal ini tak sebanding dengan India dan China yang dapat mencapai 60.000 judul buku dan 140.000 judul buku per tahunnya.
Proyeksi Menjadi Bahasa Internasional
Di sisi lain, Bahasa Indonesia berpeluang menjadi bahasa internasional. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Komisi Harian Nasional Indonesia untuk UNESCO Arief Rahman, pada 15 November bahasa-bahasa di Eropa karena bahasa Indonesia tak asing dalam komunitas internasional.
Namun, untuk mewujudkannya, perlu ada keseriusan dan kerja sama dari berbagai pihak baik pemerintah, media, maupun publik itu sendiri. Dalam pertemuan Kongres Bahasa Indonesia yang diadakan setiap lima tahun, pemerintah, sastrawan, dan praktisi budaya mengumpulkan berbagai problem mengenai bahasa nasional dan daerah, dan memberi usulan-usulan yang sepatutnya dapat terlaksana.
Menyuarakan gerakan cinta bahasa Indonesia saja tidak cukup. Pemerintah maupun pihak yang terkait (dalam hal ini penerbit) harus giat menumbuhkan budaya baca di tengah masyarakat. Salah satunya dengan memperluas peredaran dan publikasi buku atau jurnal dengan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Mari kita mencontoh Jepang. Meski kondisinya sempat hancur akibat kekalahan saat Perang Dunia II, Jepang mampu bangkit dan menyaingi kemajuan teknologi negara Barat. Salah satu kuncinya, yakni tingkat budaya baca dan tulis yang tinggi. Banyak toko buku yang dapat ditemukan di Jepang, namun sangat sulit menemukan buku berbahasa asing, karena para penerbit sangat peduli terhadap buku-buku terjemahan yang beredar di Jepang.
Mendorong kegiatan dan penelitian terhadap Bahasa nasional, sastra Indonesia maupun daerah, dan mempublikasinya melalui jurnal atau makalah, sehingga tak hanya mendorong kualitas bahasa kita, namun menjadi bukti bagi dunia internasional terhadap pengembangan bahasa. Penelitian terhadap sastra juga dapat memberi kesempatan bagi para peneliti atau sastrawan untuk menjelajah kreatifitas dan seni dengan bahasa.
Mutu kualitas bahasa juga dapat ditingkatkan dengan pembenahan kurikulum dan pendidikan bahasa Indonesia maupun bahasa daerah di tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Berdasarkan kesimpulan Kongres Bahasa Indonesia Kedelapan (2003), pendidikan bahasa Indonesia yang diajarkan di sekolah terlalu teoritis, padahal yang ingin dicapai adalah siswa dapat menggunakan bahasa Indonesia maupun daerah dengan baik dan benar. Selain itu, para pendidik dari berbagai bidang juga berperan dalam penyampaian bahasa Indonesia yang sesuai dengan bidangnya.
Peningkatan kualitas bahasa juga berlaku di lembaga pemerintah, baik secara administratif dan birokrasi. Baik lembaga maupun pegawai pemerintah sering menjadi sorotan media dan publik, sehingga mereka harus menjadi contoh yang baik. Pada Januari 2011 lalu, Pidato Presiden Yudhoyono sempat menuai banyak kritik dari media dan publik, karena beliau sering menggunakan bahasa asing dalam pidatonya. (baca: 30 Istilah Bahasa Inggris dalam pidato kenegaraan SBY).
Seiring kemajuan teknologi dan era globalisasi, kita pun semakin tergantung dengan perangkat teknologi yang canggih, sehingga membiasakan kita menggunakan istilah asing daripada bahasa Indonesia. Saatnya, pengembangan mutu bahasa juga berjalan seiring dengan teknologi, sehingga bahasa Indonesia terus bertahan meski teknologi semakin maju.
Mutu bahasa pada media juga harus digalakkan. Media massa berperan penting dan efektif sebagai penyebarluasan bahasa. Pelatihan penulisan dan pengucapan bahasa yang baik dan benar kepada para jurnalis, mengecek penggunaan bahasa oleh staf bahasa, membuat kolom bahasa, penulisan berita dengan bahasa yang baik dan benar merupakan beberapa cara bagi media untuk mendukung pengembangan mutu bahasa.
Sebenarnya masih banyak cara-cara yang dapat dilakukan untuk menjaga keberlangsungan bahasa Indonesia dan mewujudkan proyeksi tersebut sebagai bahasa internasional. Akan tetapi, hal ini kembali pada kesadaran diri sendiri untuk mencintai bahasa nasionalnya. Bersediakah kita mencintai bahasa Indonesia dengan memakainya dalam keseharian kita?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H