Universitas Airlangga - Belakangan ini media marak membicarakan isu-isu kesehatan mental. Banyak platform yang membahas tentang pentingnya pengetahuan tentang kesehatan mental dan bagaimana cara kita menjaganya. Salah satu teknik yang paling populer dan mudah untuk dilakukan adalah self-reward, atau penghargaan kepada diri sendiri, merupakan bentuk penghargaan yang diberikan kepada diri sendiri setelah mencapai tujuan atau menyelesaikan pekerjaan. Dalam ilmu psikologi, self-reward dapat membantu menjaga kesehatan mental, meningkatkan kepuasan diri, dan memotivasi seseorang untuk bekerja lebih baik. Hal ini didukung dengan penelitian dari Universitas Pendidikan Indonesia yang menemukan bahwa teknik self-reward efektif dalam meningkatkan keterampilan pengendalian diri. Self-reward memberikan penguatan positif terhadap perilaku, membantu individu mengembangkan kebiasaan yang lebih sehat, termasuk pengelolaan emosi dan peningkatan kesejahteraan psikologis. Pendekatan ini dapat diterapkan pada berbagai konteks untuk mendukung perkembangan mental yang lebih baik.
Namun, banyak sekali masyarakat yang salah mengartikan self-reward dan berakhir condong kepada perilaku konsumerisme. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konsumerisme adalah gaya hidup yang beranggapan bahwa kebahagiaan bisa didapatkan dari kepemilikan barang-barang mewah. Konsumerisme juga dapat diartikan sebagai ideologi yang mendorong seseorang atau kelompok untuk mengonsumsi barang-barang hasil produksi secara berlebihan, tanpa sadar, dan berkelanjutan. Gaya hidup konsumtif lebih banyak diadopsi oleh anak muda berusia 18-25 tahun. Pada rentang usia tersebut, masyarakat paling sering mengakses media sosial yang menjadi faktor utama tindakan konsumtif.
Hubungan antara self-reward dan perilaku konsumtif terletak pada cara individu memahami dan mengelola penghargaan terhadap diri sendiri. Tak ada salahnya jika kita memberikan self-reward kepada diri sendiri saat diperlukan, tetapi banyak orang yang salah mengartikan istilah tersebut dan justru melakukan tindakan konsumerisme. Bahkan banyak orang yang tidak sadar bahwa mereka telah berperilaku konsumtif karena dalam pikiran mereka selalu tertanam bahwa mereka sedang menghadiahi diri sendiri. Hal ini dibuktikan oleh banyaknya masyarakat yang mengunggah video di media sosial saat mereka berbelanja secara berlebihan. Sedihnya, ternyata video-video tersebut disukai oleh banyak masyarakat Indonesia, tak sedikit pula yang terinspirasi untuk membuat video yang sejenis, bahkan perilaku konsumtif secara perlahan mulai menjadi gaya hidup bagi beberapa masyarakat.
Mudahnya mengakses situs perbelanjaan pada era serba canggih ini menjadi faktor utama tindakan konsumerisme. Media dan iklan seringkali mendorong tindakan ini dengan mengasosiasikan produk dengan kebahagiaan dan kesuksesan. Studi mengenai pengaruh e-commerce terhadap perilaku konsumtif menunjukkan bahwa platform belanja daring seperti Shopee dan Tokopedia secara signifikan memengaruhi kecenderungan konsumerisme, terutama di kalangan remaja dan mahasiswa. Terlebih karena banyaknya diskon dan promo yang dapat kita nikmati dalam aplikasi-aplikasi tersebut. Faktor lain yang tak kalah penting adalah pengaruh lingkungan dan sosial. Jika orang-orang terdekat kita membeli barang yang menarik atau terdapat sebuah tren baru, tentunya kita merasa tidak boleh tertinggal, yang berujung menuntun kita ada tindakan konsumerisme. Sikap seperti ini sering kita dengar dengan istilah FOMO (Fear of Missing Out). Seringnya istilah FOMO digunakan, membuktikan bahwa tindak konsumerisme semakin populer di kalangan masyarakat.
Jika anda mengira hanya orang-orang dengan ekonomi menengah keatas saja yang kerap melakukan tindak konsumerisme, anda harus segera menarik pernyataan tersebut. Dengan adanya sistem belanja sekarang bayar nanti, yang sering dikenal sebagai paylater, masyarakat dari semua kalangan tak berpikir panjang untuk berbelanja memenuhi keinginan mereka. Dalam pikiran, mereka merasa dapat berbelanja dengan bebas tanpa harus membayar uang sepeserpun. Padahal, hanya tinggal menunggu waktu untuk mengubah pemikiran tersebut menjadi petaka. Penelitian menunjukkan bahwa banyak pengguna yang mengalami kesulitan membayar cicilan tepat waktu, yang dapat memengaruhi kesehatan finansial mereka. Bahkan tak sedikit pula masyarakat yang mengakhiri hidupnya hanya karena tak sanggup untuk membayar tanggungan mereka. Tindak konsumerisme juga menyebabkan penurunan kebiasaan menabung di kalangan masyarakat, yang menyebabkan lebih banyak uang digunakan untuk konsumsi ketimbang ditabung. Hal ini berpotensi mengurangi tabungan nasional yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, seperti pendanaan infrastruktur. Lebih lanjut, penelitian mengungkapkan bahwa perilaku konsumtif dapat menyebabkan ketidakmampuan dalam mengelola keuangan secara efektif, terutama bagi mahasiswa yang lebih rentan terpengaruh oleh gaya hidup hedonistik dan kemudahan akses belanja online. Pengelolaan keuangan yang buruk ini, jika tidak segera diperbaiki, dapat berujung pada masalah finansial jangka panjang
Perilaku konsumtif juga dapat menciptakan siklus ketidakpuasan, di mana individu terus mencari barang baru untuk merasa bahagia. Ketergantungan pada pembelian barang untuk mencapai kebahagiaan sesaat sering kali mengarah pada perasaan kosong dan kurangnya makna dalam hidup. Individu yang terlalu fokus pada materi dan konsumsi sering merasa tertekan untuk memenuhi ekspektasi sosial dan standar yang tidak realistis, yang pada akhirnya meningkatkan tingkat stres dan kecemasan. Penelitian menunjukkan bahwa konsumerisme yang berlebihan juga berhubungan dengan depresi, terutama karena perbandingan sosial yang terjadi di media sosial, di mana individu merasa tidak cukup jika tidak memiliki barang atau status yang sama dengan orang lain.
Mengelola keuangan dengan bijak adalah kunci untuk menghindari jebakan konsumerisme. Penting untuk membedakan antara keinginan dan kebutuhan, serta merencanakan pengeluaran dengan bijak. Praktik mindfulness membantu individu untuk menyadari motivasi di balik belanja dan membuat keputusan yang lebih bijaksana. Anda bisa memulai dengan membuat anggaran yang realistis, memperhatikan pemasukan dan pengeluaran Anda secara detail, dan memprioritaskan kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal, dan kesehatan sebelum membeli barang-barang yang diinginkan. Hindari membeli barang secara impulsif dan bandingkan harga sebelum memutuskan untuk membeli. Jangan selalu menuruti ego Anda untuk membeli segala hal yang sedang menjadi tren dengan dalih self-reward.
Menghargai diri dengan cara non-material, seperti pengalaman atau waktu bersama teman, bisa menjadi alternatif yang lebih sehat. Anda bisa berkeliling ke tempat wisata lokal atau taman ruang hijau yang bisa menyegarkan pikiran dan membuat Anda lebih menghargai keindahan yang ada di sekitar. Alternatif lain dapat dilakukan dengan bertemu dengan teman untuk sekedar mengobrol santai dan menikmati waktu bersama. Dengan melakukan alternatid tersebut, Anda dapat terhindar dari perilaku konsumtif, dan dijauhkan dari dampak-dampak negatif yang diciptakannya.
Kesadaran tentang dampak psikologis dan finansial dari konsumerisme berkedok self-reward penting untuk kesejahteraan jangka panjang. Dengan mencari cara lain untuk merayakan pencapaian, individu dapat mencapai kebahagiaan yang lebih berkelanjutan tanpa terjebak dalam siklus konsumsi. Intinya, self-reward memang sah-sah saja, tetapi harus dilakukan dengan bijak dan tidak berlebihan. Penting untuk selalu ingat bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari barang materi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H