CINDY FLORENCINE
Pendidikan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, UNJ
cflorencine@gmail.com
Wajah dunia pendidikan tercoreng. Belum lama ini kita dikejutkan dengan aksi kekerasan berkedok senioritas yang terjadi di sebuah pondok pesantren dan mengakibatkan satu orang meninggal dunia. Sang korban yang berinisial AM wafat setelah dianiaya oleh beberapa kakak seniornya. Dan ternyata kasus kekerasan di dunia pendidikan bukan pertama kali terjadi, dan tidak hanya di pondok pesantren. SMP, SMA juga menjadi tempat berlangsungnya berbagai aksi tak terpuji. Aksi senioritas yang sedang marak terjadi di dunia pendidikan menjadi raport merah bagi semua pihak terkait.
Dunia pendidikan yakni sekolah merupakan wadah dimana seharusnya menjadi tempat yang aman bagi anak dalam menimba ilmu, bermain, bersosialisasi dengan lingkungannya dan berprestasi. Anak seharusnya bebas untuk mengeksplorasi bakat dan minatnya tanpa harus dilanda rasa takut. Namun sayang, di tahun ini kita mendengar berita yang begitu memilukan dari dunia pendidikan. Banyak sekali kasus perundungan atau yang lebih dikenal dengan bullying, baik secara verbal maupun fisik, bahkan tidak sedikit yang sampai menimbulkan korban jiwa. Tidak hanya itu, parahnya lagi, dalam aksi kekerasan berkedok senioritas ini tidak sedikit korban yang dianiaya dan berujung maut. Kekerasan di kalangan siswa khususnya kekerasan yang dilakukan oleh senior terhadap juniornya sering terjadi baik di SMP, SMA, maupun Perguruan Tinggi. Masa Orientasi Siswa (MOS) atau OSPEK ditetapkan sebagai sekolah untuk memberi waktu pada siswa baru untuk menyesuaikan diri dengan sekolah mereka.
Aksi kekerasan yang terjadi di sekolah mendapat sorotan tajam dari masyarakat. Kekerasan yang menimpa peserta didik di lingkungan sekolah menjadi topik hangat pemberitaan di media massa. Kasus kekerasan yang terjadi di institusi pendidikan, mengindikasikan bahwa mainstream kekerasan masih digunakan dalam pola pembelajaran di dunia pendidikan.Â
Tindak kekerasan di dunia pendidikan seolah "dihalalkan" untuk mencapai tujuan tertentu. Tidak sedikit kita lihat tindak senioritas masih saja dipakai hingga saat ini, bahkan sampai tingkat Universitas. Tujuannya apa? Ya, sebagai bentuk pengenalan akan kehidupan lingkungan pendidikan. Kekerasan seolah menjadi jalan utama yang dipilih dalam menyelesaikan masalah, sekalipun dalam masa orientasi siswa.Â
Masa pengenalan sekolah yang seharusnya diliputi rasa gembira dan bahagia karena siap menjalani jenjang pendidikan selanjutnya, justru dilingkupi ketakutan yang luar biasa akibat tindak kekerasan dalam senioritas.
Meskipun tradisi senioritas sudah mulai di hilangkan dalam dunia pendidikan, masih banyak kasus yang menunjukkan budaya senioritas di sekolah atau universitas yang menggunakan kekerasanPertanyaannya, apa sebenarnya penyebab terjadinya kekerasan yang dilakukan senior? Apa kekerasan menjadi satu-satunya jalan yang berkedok untuk mendisiplinkan junior? Apa kekerasan sudah menjadi budaya yang mendarah daging dalam menyelesaikan suatu masalah? Simak penjelasan berikut.
 TEMUAN DAN ANALISIS
Banyak sekali kasus senioritas berujung maut yang memakan korban jiwa. Kasus pertama terjadi belum lama ini, pada 22 Agustus 2022 di Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur yang menewaskan seorang santri berinisial AM (17). Masalahnya sepele, korban yang merupakan panitia kegiatan berinisial AM, bersama ketiga temannya mengembalikan semua peralatan perkemahan kepada terlapor yang merupakan koordinator bagian perlengkapan. Namun, setelah di periksa kembali oleh terlapor, terdapat pasak tenda yang hilang.Â