Pembicaraan mengenai kesehatan mental sudah tidak asing lagi ditelinga orang-orang maupun di media sosial. Media sosial yang menyebarkan informasi dengan tujuan menumbuhkan kesadaran masyarakat terkait kesehatan mental, sekarang memancing pembacanya untuk 'meromantisasi gangguan mental'.Â
Dimulai dari stigma, diskriminasi lalu romantisasi.
Perspektif baru
Romantisasi sendiri berbicara bagaimana menganggap sesuatu itu lebih indah daripada yang sebenarnya. Romantisasi gangguan mental ini diartikan sebagai "beautifully painful"Â dengan kata lain adalah pandangan orang menganggap bahwa memiliki gangguan mental adalah sesuatu yang menarik.Â
Update status "I'm not okay", self harm, semua itu dianggap menawan dan estetik untuk dipandang. Â Akibat hal ini, ada banyak orang diluar sana yang terpengaruh juga. Penelitian Kramer et al. (2014) membuktikkan bahwa perasaan negatif yang diekspresikan melalui status media sosial bisa menular ke perasaan orang lain yang membacanya.Â
Baca juga: Masalah Remaja Sekarang: Remaja dan Tekanan Sosial Media, Ada Apa?
Otak manusia cenderung mendramatisir kesedihan yang terjadi ke diri sendiri. Jika kamu merasa sedih mengenai suatu masalah hidup, otak sering berpikir bahwa dirimu adalah yang paling menyedihkan di dunia ini sehingga tak jarang orang diluar sana atau bahkan kamu sendiri merasa dirinya sedang depresi.Â
Ketika semisalnya kamu mencari ciri-ciri depresi di internet dan menemukan kesamaan, kamu akan tenggelam lebih dalam lagi memikirkan bahwa kamu benar-benar terkena depresi. Jika sudah merasa ada yang tidak beres, lebih baik langsung datang ke tenaga profesional.Â
Banyak yang berkata "Tadi gw depresi tapi abis makan gw udah seneng." Pada kenyataannya, orang yang terdiagnosis depresi tidak akan merasa langsung senang setelah melakukan kegiatan yang menyenangkan sekalipun.
Ciri-ciri orang yang meromantisasi gangguan mental :Â
Menganggap gangguan mental itu adalah suatu yang keren
Sering update status tentang kegalauan karena menganggap hal itu adalah estetik. Sampai-sampai melakukan self harm seperti "cutting tangan" dan disebarkan luas di media sosial. Sesuatu seperti ini harus dihentikan karena gangguan mental bukanlah bahan media sosial, gangguan mental harus segera disembuhkan.Â
Bayangkan saja jika ada orang yang benar-benar terkena depresi dan dirinya berusaha untuk keluar dari zona itu. Kalau memang benar gangguan mental itu adalah hal yang menawan, mengapa tenaga profesional di luar sana berusaha membantu teman-teman yang membutuhkan pertolongan dan pengobatan untuk dirinya?