Mohon tunggu...
Cindy Septiana
Cindy Septiana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/Pelajar

Hoby saya memasak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Malioboro: Ikon Dinamis Yogyakarta, Perpaduan Budaya dan Tantangan Keberlanjutan"

5 Januari 2025   19:04 Diperbarui: 5 Januari 2025   19:04 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Malioboro, sebagai salah satu ikon utama Yogyakarta, memiliki daya tarik yang tidak lekang oleh waktu. Jalan yang terkenal dengan suasana budaya dan aktivitas perdagangannya ini selalu menjadi magnet bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Selain sebagai destinasi wisata, Malioboro juga menjadi pusat ekonomi dan simbol kehidupan masyarakat lokal yang sarat akan nilai budaya. Namun, seperti halnya kawasan lain yang berkembang pesat, Malioboro menghadapi tantangan lingkungan yang perlu diatasi dengan bijaksana. Salah satu daya tarik utama Malioboro adalah atmosfer unik yang diciptakan oleh perpaduan budaya tradisional dan modernitas. Di sepanjang jalan ini, wisatawan dapat menemukan beragam barang khas, seperti batik, aksesoris kerajinan tangan, hingga suvenir yang mencerminkan kekayaan budaya Yogyakarta. Tidak hanya itu, Malioboro juga menjadi rumah bagi pedagang kaki lima yang menjual jajanan tradisional khas Jawa, seperti gudeg dan bakpia. Kehadiran seniman jalanan yang kerap menampilkan musik tradisional, teater kecil, hingga pertunjukan angklung menambah keunikan suasana kawasan ini.
Namun, perkembangan Malioboro sebagai pusat aktivitas ekonomi dan wisata menghadirkan sejumlah tantangan lingkungan. Salah satu masalah utama adalah pengelolaan sampah. Setiap harinya, ribuan orang mengunjungi Malioboro, dan ini meningkatkan produksi sampah, terutama dari plastik dan sisa makanan. Meski pemerintah setempat telah menyediakan tempat sampah di beberapa titik strategis, kesadaran pengunjung untuk membuang sampah pada tempatnya masih perlu ditingkatkan. Hal ini sering membuat Malioboro terlihat kurang terawat, terutama saat musim liburan. Selain itu, kemacetan lalu lintas di kawasan sekitar Malioboro juga menjadi masalah yang cukup signifikan. Mobilitas wisatawan yang tinggi, ditambah dengan angkutan umum, becak, dan andong, sering kali menciptakan penumpukan kendaraan. Ini tidak hanya mengurangi kenyamanan pengunjung tetapi juga berdampak pada kualitas udara di kawasan tersebut. Meskipun pemerintah telah menerapkan kebijakan bebas kendaraan bermotor di beberapa bagian jalan Malioboro, langkah ini memerlukan pengelolaan lebih lanjut untuk memastikan keberlanjutannya. Upaya revitalisasi Malioboro dalam beberapa tahun terakhir patut diapresiasi. Salah satu langkah positif adalah pembangunan Teras Malioboro, tempat baru untuk relokasi pedagang kaki lima. Langkah ini bertujuan untuk menata kawasan agar lebih rapi dan nyaman bagi pejalan kaki. Namun, keputusan ini juga menimbulkan pro dan kontra. Beberapa orang berpendapat bahwa relokasi pedagang kaki lima mengurangi suasana khas Malioboro yang identik dengan keramaian dan interaksi langsung antara penjual dan pembeli di pinggir jalan. Meski demikian, Malioboro tetap menjadi lambang keramahtamahan dan keberagaman budaya Yogyakarta. Untuk menjaga keberlanjutannya sebagai destinasi wisata unggulan, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat lokal, pedagang, dan wisatawan. Edukasi terkait kebersihan lingkungan dan pentingnya menjaga keberlanjutan Malioboro perlu terus disosialisasikan. Selain itu, pengembangan teknologi ramah lingkungan, seperti sistem pengelolaan sampah yang lebih efisien dan kendaraan berbasis energi bersih, dapat membantu mengurangi dampak lingkungan kawasan ini. Secara keseluruhan, Malioboro adalah cerminan kehidupan masyarakat Yogyakarta yang dinamis, bersahaja, dan penuh nilai budaya. Dengan pengelolaan yang tepat dan kesadaran kolektif dari semua pihak, Malioboro dapat terus menjadi ikon kebanggaan, bukan hanya untuk masyarakat Yogyakarta tetapi juga untuk Indonesia secara keseluruhan. Ini adalah warisan budaya yang harus dijaga agar tetap lestari bagi generasi mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun