Industri fast fashion telah menjadi fenomena global pada abad ke-21, memberikan konsumen akses yang cepat dan terjangkau ke pakaian trendi. Namun, dibalik popularitasnya, industri ini juga telah memunculkan masalah yang sangat serius. Salah satu masalah utama adalah praktik perbudakan dan eksploitasi buruh di negara-negara berkembang seperti Bangladesh. Para pekerja sering diperlakukan dengan sangat buruk, dipekerjakan dalam kondisi kerja yang tidak manusiawi, dan dibayar upah yang sangat rendah. Banyak dari mereka bekerja dalam kondisi yang berbahaya dan tidak sehat, sehingga meningkatkan risiko kecelakaan kerja dan penyakit terkait kerja.Â
Selama 25 tahun terakhir, industri garmen siap pakai (RMG) telah menjadi sumber utama pendapatan asing Bangladesh (Das et al., 2018; Rahman, 2021; Zaman, 2021). Pada tahun 2019-2020, lebih dari 84% pendapatan ekspor negara berasal dari ekspor garmen. Hal ini merupakan suatu pencapaian yang membanggakan sekaligus memprihatinkan karena ketergantungan negara pada satu sumber pendapatan luar negeri. Meskipun begitu, mencapai keunggulan kompetitif dalam ekspor garmen akan membantu memperkuat industri RMG Bangladesh dan memberikan stabilitas yang lebih besar ke depannya. Faktor utama yang membuat Bangladesh diakui sebagai pusat sumber pakaian jadi global adalah struktur gaji industri garmen, di mana upah minimum bulanan saat ini hanya sebesar USD 97 (Chandra & Ferdaus, 2020; Paul, 2018). Dalam hal ini, perlu dicatat bahwa upah bulanan minimum di Tiongkok jauh lebih tinggi, berkisar antara USD 162 hingga USD 358 (Koty & Zhou, 2019). Karena perbedaan ini, negara-negara asing cenderung lebih tertarik untuk membeli produk dari Bangladesh, yang menghasilkan nilai ekspor pakaian jadi sebesar USD 33,07 miliar pada tahun 2019 (BGMEA, 2021a, 2021b).Â
Pandangan Marxis tentang perbudakan buruh garmen di Bangladesh sangat relevan dalam menjelaskan fenomena ini. Dalam teori Marxisme, kapitalisme merupakan sistem ekonomi yang didasarkan pada eksploitasi buruh oleh pemilik modal. Dalam sistem kapitalisme, buruh dipaksa untuk menjual tenaga kerjanya dengan harga yang sangat rendah kepada pemilik modal, yang kemudian akan menciptakan keuntungan yang sangat besar bagi pemilik modal tersebut.
Hal ini terjadi dalam industri fast fashion di Bangladesh. Pemilik pabrik garmen dan perusahaan-perusahaan fast fashion di Bangladesh mempekerjakan buruh garmen dengan upah yang sangat rendah, bahkan di bawah standar upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah Bangladesh. Hal ini membuat buruh garmen terjebak dalam lingkaran kemiskinan, tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka dan keluarga mereka.
Selain itu, pemilik pabrik dan perusahaan fast fashion memaksa buruh garmen untuk bekerja dalam kondisi yang sangat buruk, dengan jam kerja yang sangat panjang dan kondisi kerja yang tidak aman. Banyak kecelakaan kerja terjadi di pabrik-pabrik garmen di Bangladesh, dengan kebakaran dan bangunan yang roboh menjadi masalah yang sering terjadi.
Dalam pandangan Marxisme, kondisi buruh garmen di Bangladesh dapat dijelaskan dengan konsep surplus value. Surplus value adalah nilai tambahan yang diciptakan oleh buruh di atas upah yang mereka terima dari pemilik modal. Dalam industri fast fashion, pemilik modal menciptakan keuntungan yang sangat besar dari surplus value yang dihasilkan oleh buruh garmen. Namun, buruh garmen tidak mendapatkan bagian yang layak dari keuntungan tersebut, yang malah diserap oleh pemilik modal.
Selain itu, dalam pandangan Marx, kondisi buruh garmen di Bangladesh juga terkait dengan konsep alienasi. Alienasi terjadi ketika buruh kehilangan kontrol atas produk yang mereka buat, serta merasa terasing dari produk tersebut. Dalam industri fast fashion, buruh garmen hanya bertanggung jawab atas satu bagian kecil dari produk yang mereka buat, dan tidak memiliki kendali atas proses produksi secara keseluruhan. Hal ini menyebabkan buruh garmen merasa terasing dari produk yang mereka buat, serta tidak memiliki hubungan emosional yang kuat dengan produk tersebut.
Dalam konteks ini, perbudakan buruh garmen di Bangladesh dapat dipandang sebagai salah satu dampak dari sistem kapitalisme yang didasarkan pada eksploitasi buruh oleh pemilik modal. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan tindakan kolektif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, perusahaan fast fashion, dan konsumen.
Pemerintah Bangladesh harus meningkatkan standar upah minimum dan mengawasi kondisi kerja di pabrik-pabrik garmen untuk memastikan bahwa buruh garmen tidak dieksploitasi secara ekonomi dan diperlakukan dengan layak. Perusahaan fast fashion juga harus memperhatikan kondisi buruh garmen di negara-negara berkembang dan bertanggung jawab atas dampak sosial dan lingkungan dari praktik bisnis mereka.
Konsumen juga memiliki peran penting dalam mengatasi masalah ini. Konsumen harus memilih untuk membeli pakaian dari perusahaan-perusahaan yang memperhatikan kondisi buruh garmen dan lingkungan, serta memperhatikan dampak sosial dari praktik bisnis mereka. Konsumen juga dapat memilih untuk membeli produk yang terbuat dari bahan ramah lingkungan dan bertanggung jawab secara sosial.
Dalam kesimpulan, perbudakan buruh garmen di Bangladesh di balik industri fast fashion dapat dipandang dari perspektif Marxisme sebagai salah satu dampak dari sistem kapitalisme yang didasarkan pada eksploitasi buruh oleh pemilik modal. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan tindakan kolektif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, perusahaan fast fashion, dan konsumen. Dalam jangka panjang, diperlukan perubahan sistem ekonomi dan sosial yang lebih adil dan berkelanjutan untuk memastikan bahwa buruh garmen di negara-negara berkembang tidak lagi menjadi korban dari sistem ekonomi yang didasarkan pada eksploitasi dan ketidakadilan.