Mohon tunggu...
Cindy Editya
Cindy Editya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Padjadjaran

a girl who these days expects nothing n appreciates everything. an enfp and night talker who also loves cats, sunsets, n ocean

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Mengenal Sosok Fuad Muhammad Syafruddin, Jurnalis Kritis yang Rela Gugur Demi Menyibak Tabir Kebenaran

26 Juni 2024   22:24 Diperbarui: 26 Juni 2024   22:53 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fuad Muhammad Syarifuddin (kominfo.go.id)

Indonesia selaku negara kerakyatan terbesar ketiga di dunia telah menempuh perjalanan yang panjang semenjak proklamasi kemerdekaan digaungkan pada tahun 1945. Selama menjalani perannya sebagai negara demokrasi, Indonesia telah mengupayakan beberapa hal untuk menciptakan sebuah negara demokrasi yang kokoh dan berkelanjutan meliputi pemilihan umum yang bebas dan adil, penjaminan keadilan bagi seluruh warga negara dan penegakan hukum yang tegas, serta nilai-nilai kebebasan berpendapat yang diantaranya termasuk kebebasan pers yang dijunjung tinggi. Kebebasan pers sendiri menjadi salah satu pilar fundamental dalam mewujudkan sebuah negara demokrasi yang disertai dengan masyarakat yang adil, transparan dan akuntabel. Namun, di balik gemerlapnya Indonesia sebagai negara demokrasi, para jurnalis di seluruh Indonesia masih merasakan berbagai rintangan dan bahaya dalam dunia kerjanya, termasuk ancaman kekerasan dan pembunuhan.

Salah satu peristiwa yang cukup menampar hati dan jiwa para jurnalis Indonesia sendiri ialah peristiwa pembunuhan Fuad Muhammad Syafruddin yang terjadi saat rezim Orde Baru yang otoriter dan represif tengah berkuasa, tepatnya pada tahun 1996. Fuad Muhammad Syafruddin merupakan salah seorang jurnalis yang hidup dan bergerilya sebagai jurnalis pada masa tersebut. Ia merupakan seorang jurnalis investigatif dari surat kabar harian Bernas asal Yogyakarta. Selama hidupnya, ia banyak menulis dan mempublikasikan berbagai artikel investigasi dan kritikan terkait kebijakan-kebijakan pemerintah. Hebatnya lagi, ia juga tidak pernah mensensor nama-nama yang menjadi tersangka dalam tulisan yang ditulisnya. Dalam hal ini, istrinya, Marsiyem, pernah memberikan saksi mengenai keberanian suaminya ini. "Mas Udin selalu bilang, kalau memang ada kesalahan, ya, harus diberitakan sesuai fakta. Memang begitu kerjanya jurnalis." Keberanian dan ketegasan yang dimiliki Udin ini lah yang kemudian membuatnya menjadi salah satu panutan utama bagi para jurnalis Indonesia masa kini dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang jurnalis.

Beberapa bulan sebelum kematiannya menjemput, ia tengah disibukkan dengan menulis beberapa artikel terkait dugaan korupsi yang dilakukan oleh Kolonel Sri Roso Sudarmo yang merupakan kabupaten Bantul. Artikel-artikel ini sendiri sempat terpublikasikan dengan beberapa judul yang meliputi "Kolonel Ikut Ramaikan Bursa Calon Bupati Bantul", "Soal Pencalonan Bupati Bantul: banyak "Invisible Hand" Pengaruhi Pencalonan", "Di Desa Karangtengah, Imogiri, Bantul, Dana IDT Hanya Diberikan Separo", dan "Isak Tangis Warnai Pengosongan Parangtritis". Terdapat juga sebuah laporan akhir yang ditulisnya beberapa hari sebelum meninggal mengenai sangkaan kasus penyelewengan dana pembangunan jalan yang dipublikasikan dengan judul "Proyek Jalan 2 Km, Hanya Digarap 1,2 Km". Tulisan ini mengungkapkan berbagai kejanggalan mengenai proyek pembangunan jalan pada ruas Kelurahan Tamantirto Pengkolan, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul.

Didasarkan oleh hal tersebut, banyak masyarakat yang berspekulasi bahwa pembunuhan ini merupakan sebuah tindak bungkam dari para petinggi pemerintahan kala itu terhadap Fuad Muhammad Syafruddin. Sementara itu, sersan Mayor Edy Wuryanto, salah seorang penyidik dari kasus ini yang berasal dari Kepolisian Resor Bantul sendiri cukup meyakini bahwa kasus pembunuhan ini didasarkan pada motif perselingkuhan yang dilakukan oleh Fuad Muhammad Syafruddin dengan Sunarti, istri Dwi Sumadji. Namun karena tidak ada bukti yang cukup dalam persidangan, cap 'tersangka' pada dirinya sempat dicabut dan kemudian dibebaskan. Sementara itu, Edy Wuryanto sebagai penyidik kasus ini juga sempat beberapa kali terseret ke meja hijau akibat beberapa tindakan mencurigakan yang dilakukan olehnya seperti penyuapan Dwi Sumadji agar bersedia menjadi tersangka, menghilangkan barang bukti berupa buku catatan milik Udin, hingga membuang sampel darah korban ke laut Parangtritis yang dipinjamnya dari keluarga Udin dengan alasan untuk keperluan penyidikan. Melihat tindakan-tindakan ini saja sudah dapat membuat kita sebagai pihak luar mencurigai tindakan-tindakan Edy tersebut sebagai salah satu upaya dalam penghilangan jejak kebenaran kasus ini. Namun, dalam prosesnya, Edy hanya dijatuhi hukuman selama 20 bulan penjara karena tindak penghilangan barang bukti yang dilakukannya.

Berdasarkan hal tersebut, sangat sulit untuk tidak menduganya sebagai salah seorang pihak yang berada dalam lingkungan instansinya. Penyelidikan panjang yang telah dilakukan selama bertahun-tahun lamanya untuk mengungkap pelaku utama dalam kasus pembunuhan Udin akhirnya hanya menjadi penyelidikan yang sia-sia. Tim penyidik yang telah berkali-kali diganti dan ditugaskan pada akhirnya juga tidak mampu untuk mengungkapkan motif dan pelaku sebenarnya dari kasus pembunuhan Udin ini. Atau mungkin malah memang sengaja disembunyikan dengan rapat? Saya juga tidak tahu pasti. Hal yang perlu diketahui dengan tepat, kasus ini bukan hanya sekedar tragedi naas yang menimpa Fuad Muhammad Syafruddin sebagai salah seorang jurnalis yang hidup pada masa itu. Lebih dalamnya lagi, kasus ini juga menjadi sebuah simbol kritis dari pembungkaman pendapat dan ancaman yang nyata terhadap kemerdekaan pers. Membiarkan kasus ini kadaluwarsa berarti sama saja dengan membenarkan tindak pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan memperlihatkan sifat apatis kita sebagai seorang manusia terhadap bentuk ketidakadilan nyata yang ada dalam kasus ini. Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk terus mendesak pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kasus ini agar terus menerus melakukan sebuah penyelidikan yang transparan dan akuntabel dalam upaya mengungkap kebenaran di balik kasus ini sekaligus juga memperoleh keadilan yang nyata bagi Fuad Muhammad Syafruddin dan keluarga.

Selamanya dalam hati, 28 tahun mengenang Fuad Muhammad Syafruddin.

(Tempo.co)
(Tempo.co)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun