Mohon tunggu...
Cindy Lai
Cindy Lai Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

seorang perempuan yang senang membaca, menulis, mendengarkan musik, memasak, dan travelling. sedang ingin belajar membatik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memaknai Emansipasi Kartini

20 April 2011   14:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:35 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Memasuki bulan April pasti masyarakat Indonesia teringat dengan Kartini, tokoh pergerakan emansipasi wanita yang sangat terkenal di Negeri ini. Kalaupun tidak ingat, sekarang ini hampir semua produk baik barang maupun jasa pasti mengiming-imingi diskon ataupun acara-acara untuk para wanita Indonesia khusus di bulan April. Kalau Anda sadar, di mana-mana orang menjual “Hari Wanita” ini khusus untuk para wanita Indonesia dan kadang jadi sedikit komersil dan konsumtif. Wanita dengan diskon, siapa bisa menolak?

Tapi, di sini saya mau mengajak para wanita untuk memaknai emansipasi yang diusung Kartini sejak jaman dahulu itu. Sebenarnya pergerakan emansipasi wanita tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi waktu itu Negara-negara Barat telah memulainya terlebih dahulu.Yang sungguh disayangkan sebenarnya bukan karena emansipasi terjadi tidak merata, tetapi yang sekarang ini terjadi emansipasi terasa kebablasan. Benarkah?

Sebagai seorang wanita, saya sendiri menyadari kalau kebanyakan wanita jaman sekarang ini sudah salah memaknai emansipasi yang dimaksud oleh Kartini. Dulu, waktu Kartini kecil yang dipingit itu bercita-cita supaya wanita Indonesia dan khususnya Jawa bisa menikmati pendidikan dan bisa pergi ke sekolah untuk belajar dan mereguk ilmu seperti kaum pria. Wanita jaman sekarang yang sudah punya title ataupun jabatan kadang suka lupa kalau dirinya wanita, mulai dari memilih untuk tidak menikah (katanya, “Udah sekolah tinggi-tinggi, masa ujung-ujungnya masuk dapur?”), yang sudah menikah lebih memilih untuk mengejar karier dan menelantarkan keluarga, urusan rumah diserahkan kepada PRT atau kalau suami gajinya lebih kecil ya disuruh nungguin rumah (ini ada kisah nyatanya lho, soalnya teman sendiri).

Jaman dulu, Kartini berusaha supaya wanita memiliki hak yang sama dengan laki-laki termasuk dalam urusan menikah, karena pada jamannya dulu laki-laki boleh menikah sampai beberapa kali dan wanita harus menerima kalau dimadu, dipoligami. Jaman sekarang, karena merasa memiliki hak yang sama, tak sedikit wanita ikutan berselingkuh, menceraikan suaminya, dan menikah lagi (walaupun judulnya nggak poligami, tapi labelnya jadi "tidak setia").

Selain itu, ada lagi yang paling mengherankan dan biasanya suka diprotes sama para pria, kenapa kalau pekerjaan dan jabatan yang enak, wanita pasti mau berada di posisi itu, tetapi kalau pekerjaannya mulai nggak enak, wanita boro-boro deh menyentuhnya, udah ngacir duluan! Teman-teman wanitaku, bukan maksud hati mengatakan bahwa wanita sekarang ini pilah-pilih dalam pekerjaan, tetapi memang kebanyakan dari kita menyadari kodrat kita sebagai wanita kok, yang tak punya fisik sekuat pria, dan para pria pun menyadari hal itu, maka lain kali kalau cuma sekedar membantu mengangkat barang yang ringan-ringan, buktikan lah kalau emansipasi wanita itu bukan hanya mau terima yang enak-enak saja.

Jadi, jangan heran kalau banyak pria sekarang ini malas kalau ketemu dengan wanita-wanita yang tidak punya sisi kewanitaan sama sekali, tetapi hanya memperlihatkan sisi kepriaan mereka terus-menerus. Mengapa begitu? Wanita itu harus sadar akan kodratnya sebagai wanita. Pria tidak akan melarang wanita untuk berkarir, punya jabatan, dan punya kuasa. Tetapi, pria juga minta mereka itu dianggap dan ada lhoo… Bagi teman-teman yang sudah berumah tangga, pilihan kita untuk menikah itu harus disadari bahwa berarti sebagai wanita kita harus bisa menjadi panutan keluarga terutama anak-anak.Punya karir dan pekerjaan yang bagus memang perlu supaya sebagai wanita kita juga bisa mengaktualisasikan diri. Tetapi, tugas lain sebagai ibu juga harus tetap dijalani. Tak ada orang yang bisa menggantikan peran ibu, sekalipun itu adalah seorang Super Nanny. Jadi, sebelum terlambat, sebelum anak-anak kita lebih dekat dengan orang lain ketimbang ibunya, cepat-cepatlah ubah cara pandang Anda. Jangan sampai rumah tangga Anda berantakan karena Anda sendiri yang tidak cakap mengaturnya. Jangan salahkan orang lain, lihat kembali kepada diri kita sendiri terlebih dahulu.

Teman-teman wanita yang merasa bahwa pilihan mereka untuk tetap sendiri adalah yang terbaik, karena nggak perlu ngurus keluarga, anak-anak, sekaligus mengejar karier, coba pikirkan kembali pilihan hidup Anda itu. Memang sih, dengan tangan sendiri dan hasil keringat Anda sendiri, Anda masih bisa hidup kok, teman-teman masih selalu ada dan keluarga senantiasa menemani. Tapi, coba pikirkan kira-kira 30-40 tahun dari sekarang, apakah Anda masih ingin tetap menjadi diri Anda yang single, bebas, dan tanpa beban itu? Ketika teman-teman Anda dikunjungi cucu-cucunya, apa yang Anda lakukan? Tidak bisa cari cowok, tidak ketumu jodoh, atau tidak laku-laku bukanlah alasan. Itu justru sebagai penanda bahwa; 1. Anda kurang keras mencarinya, 2. Ada sesuatu dalam diri Anda yang harus diubah, apa itu? Hanya Anda yang tahu kekurangan Anda sehingga tidak bisa mendapatkan pria.

Sekali lagi, tulisan ini bukan bermaksud untuk memojokkan para wanita. Saya yakin, kita para wanita diciptakan Tuhan untuk menjadi makhluk yang kuat, yang mampu melakukan banyak hal dalam satu ketika. Memiliki peran sebagai boss atau pegawai di kantor, menjadi ibu di rumah, atau mau menambahkan tanggung jawab Anda lainnya, saya yakin sebagai wanita kita bisa melakukannya. Yang harus disadari adalah mana yang menjadi prioritas Anda, dan Anda harus sadari betul konsekuensi dari pemilihan prioritas yang Anda ambil. Lagipula, itu kan seninya hidup? Harus terus memilih dan memilih.

Saya harap kita semua, para wanita dapat memaknai emansipasi yang diusung Kartini seratus tahun yang lalu itu, dan semoga kita sudah memaknainya dengan benar hingga saat ini. Selamat Hari Kartini, Selamat Hari Wanita, teruslah berjuang dalam kebenaran, wahai para sahabat wanitaku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun