Sosiologi kesehatan merupakan cabang ilmu yang mempelajari hubungan antara faktor sosial, budaya, ekonomi, dan kesehatan dalam kehidupan individu maupun masyarakat. Salah satu fenomena yang menjadi perhatian dalam sosiologi kesehatan adalah praktik khitan perempuan atau Female Genital Mutilation (FGM). FGM adalah tindakan pemotongan sebagian atau seluruh organ genital eksternal perempuan tanpa alasan medis. Praktik ini masih dilakukan di berbagai negara termasuk Indonesia, meskipun telah diakui secara global sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang merugikan kesehatan fisik, mental, dan sosial perempuan.
Khitan perempuan sering kali dilakukan atas dasar tradisi, budaya, atau kepercayaan agama. Menurut WHO (2008), Female Genital Mutilation (FGM) mencakup prosedur yang melibatkan pengangkatan atau perusakan sebagian atau seluruh alat kelamin perempuan untuk alasan non-medis, yang dibagi menjadi empat tipe. Tipe pertama melibatkan pengangkatan sebagian atau seluruh klitoris, tipe kedua mencakup penghapusan klitoris serta sebagian atau seluruh labia minora dan majora, tipe ketiga menyempitkan lubang vagina dengan menyusun ulang atau menjahit labia, dan tipe keempat mencakup tindakan berbahaya seperti menusuk, menindik, mengiris, mengikis, dan membakar area genital (Syarip, Syam, & Kabir, 2023). Meskipun sering dikaitkan dengan norma keagamaan, kenyataannya FGM lebih didorong oleh tekanan sosial yang telah mengakar kuat dalam komunitas tertentu.
Dalam Sosiologi kesehatan, fenomena ini dapat dianalisis melalui berbagai perspektif teori sosial. Teori fungsionalisme memandang FGM sebagai mekanisme sosial yang berfungsi menjaga stabilitas dalam masyarakat tradisional. Dalam komunitas yang mempraktikkan FGM, perempuan yang telah menjalani prosedur ini dianggap lebih terhormat, lebih diterima secara sosial, dan memiliki peluang lebih besar untuk menikah. Tradisi ini juga dipertahankan sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan identitas budaya komunitas. Namun, dari perspektif kesehatan, FGM justru membawa dampak negatif, seperti infeksi, komplikasi saat persalinan, hingga gangguan psikologis yang dapat berujung pada depresi atau gangguan stres pasca-trauma (post-traumatic stress disorder).Â
Berbeda dengan fungsionalisme, teori konflik melihat FGM sebagai refleksi dari ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat patriarkal. Praktik ini merupakan alat untuk mengontrol tubuh dan seksualitas perempuan, yang bertujuan menjaga dominasi laki-laki. Dalam banyak kasus, perempuan yang menolak FGM menghadapi stigma sosial, dikucilkan dari komunitas, atau bahkan dianggap tidak layak menikah. Dengan demikian, FGM menjadi simbol ketidakadilan gender yang memperkuat subordinasi perempuan dalam struktur sosial yang tidak setara.
Teori interaksionisme simbolik menawarkan sudut pandang yang berbeda dengan menekankan pentingnya makna simbolik yang diberikan masyarakat terhadap FGM. Bagi komunitas yang mempraktikkannya, FGM bukan sekadar prosedur fisik, melainkan simbol kehormatan, kesucian, dan kedewasaan. Melalui proses sosialisasi sejak dini, perempuan sering kali diajarkan untuk menerima FGM sebagai bagian dari identitas mereka. Bahkan, beberapa di antaranya merasa bangga telah menjalani prosedur tersebut, meskipun secara medis tidak ada manfaat kesehatan yang diperoleh.Â
Maraknya praktik FGM semakin memperburuk kondisi anak perempuan dan perempuan. Hal ini sejalan dengan dampak negatif yang ditimbulkan oleh praktik FGM, seperti komplikasi medis serius, termasuk rasa nyeri pada area genital dan pendarahan. Selain itu, FGM sering dilakukan pada anak-anak di bawah usia 18 tahun yang belum memahami konsekuensi dari tindakan ini dan tidak memiliki kemampuan untuk menolaknya. Praktik ini juga sering dilakukan tanpa pengawasan tenaga medis, yang dapat menyebabkan dampak psikologis pada perempuan, seperti rasa sakit dan kejutan fisik yang dialami selama proses tersebut (Molasy & Fitrianingsih, 2024). Perempuan yang menolak FGM sering menghadapi stigma sosial, isolasi, dan kesulitan mengakses layanan kesehatan. FGM menambah beban finansial pada sistem kesehatan akibat komplikasi medis jangka panjang, sehingga banyak negara dan organisasi internasional berupaya menghapus praktik ini melalui edukasi dan pemberdayaan perempuan.
Upaya untuk mengatasi FGM tidak dapat dilakukan secara parsial, melainkan memerlukan pendekatan yang holistik. Pertama, edukasi menjadi kunci utama. Masyarakat perlu diberikan pemahaman tentang risiko kesehatan dan dampak negatif FGM. Kedua, pemberdayaan perempuan sangat penting untuk mengurangi ketergantungan mereka pada tradisi yang merugikan. Ketiga, perubahan kebijakan dan penegakan hukum yang tegas juga diperlukan untuk melindungi perempuan dari praktik ini. Di Indonesia, beberapa organisasi non-pemerintah telah aktif dalam melakukan kampanye anti-FGM. Pemerintah juga telah melarang beberapa bentuk khitan perempuan yang berisiko tinggi. Namun, tantangan terbesar adalah mengubah pola pikir dan norma sosial yang telah mengakar dalam masyarakat.
Secara keseluruhan, FGM ini fenomena sosial yang kompleks dan tidak dapat diselesaikan hanya dengan pendekatan medis atau hukum. Perubahan sosial yang mendalam diperlukan untuk menghapus praktik ini secara efektif. Dalam konteks Sosiologi kesehatan, FGM bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga mencerminkan ketidaksetaraan gender, dominasi patriarkal, dan pengaruh norma budaya dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, upaya untuk menghapus FGM harus melibatkan seluruh elemen masyarakat dan berlandaskan pada prinsip kesetaraan, keadilan, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia. Hanya dengan cara ini, kesehatan dan kesejahteraan perempuan dapat terwujud secara holistik dan berkelanjutan.
Referensi :Â
Molasy, H. D., & Fitrianingsih, F. (2024). Hambatan Implementasi Kebijakan Zero Tolerance terhadap FGM di Ethiopia. JURNAL PARADIGMA MADANI: Ilmu Sosial, Politik dan Agama, 11(1), 19-36.