Seorang petani duduk termenung, murung memandangi hamparan sawah yang kering kerontang. Sedepa kegagalan tampak jelas menghadang di depan mata. Jika sawah dan ladang adalah jantung yang senantiasa memompa denyut nadi dari segenap kehidupannya, maka kemarau panjang yang tengah menerjang merupakan kenyataan yang harus mereka telan, betapapun pahitnya.
Ini baru sebagian dari kepahitan. Yang sebagian lagi, mereka harus bergelut dengan kepahitan yang lain, alangkah sulit mendapatkan air bersih demi memenuhi hajat hidupnya. Tak jarang mereka terpaksa harus menggunakan air tak layak kunsumsi.
Mana dia, para pejabat pemangku kekuasaan? Mana dia, peran nyata negara?
Jokowi, melalui kebijakan pemerintahannya memang sedang membangun sejumlah Waduk ataupun Embung di berbagai wilayah. Akan tetapi ini merupakan rintisan demi kebutuhan masa  depan. Sementara, rakyat butuh air sekarang, saat ini, ketika Elnino effect konon bakal menimbulkan kemarau maha panjang.
Suka atau tidak, para pejabat pemangku kekuasaan di negeri ini terkesan tak memiliki idialisme untuk melakukan antisipasi terhadap segala sesuatu yang akan terjadi. Yang ada, mereka cepat bereaksi dengan cara mereka sendiri ketika terjadi sesuatu. Bereaksi sesaat, dan yang sesaat lagi, biasanya tak terdengar lagi gaungnya. Toh rakyat pun sudah melupakannya. Layakkah demikian?
Padahal, persada bumi pertiwi, negeri nan subur loh jinawi ini hampir seluruh wilayahnya dikelilingi laut. Matahari bersinar sepanjang tahun. Tiupan angin tak pernah berhenti berhembus.
Jika sudi, kebutuhan air bersih  bisa didapatkan dengan cara membuat kiincir-kincir angin atau dengan menggunakan mesin pengubah air laut menjadi air tawar. Wujudnya ada, bahkan negara-negara yang tak memiliki sumber air bersih sudah menggunakan tehnologi ini. Tak mampukah negeri ini mengadakannya?
Wahai para pejabat negara pemangku kekuasaan! Teriakan rakyat parau sudah. Kelangkaan air bersih telah membuat mereka gundah. Akankah mereka kita biarkan mati nelangsa? Subhanallah!